Halaman

AWALI AKTIFITAS MU DENGAN BACAAN BASMALAH

Minggu, 01 Juli 2012

Sejarah Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.


BAB I
PENDAHULUAN
Oleh : BUNGA PERMATASARI, SH

1.1    Latar Belakang
Sebagai ilmu pengetahuan, sejarah pergaulan hidup manusia tergolong ilmu pengetahuan sosial atau ilmu pengetahuan kemanusian (humaniora), yang mempunyai kesamaan dengan ilmu pengetahuan alam, yakni bahwa semua adalah empiris, artinya bertumpu pada pengamatan dan pengalaman suatu aspek tertentu dari kenyataan. Sejarah mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya, sedangkan sejarah hukum satu aspek tertentu dari hal itu, yakni hukum. Sejarah hukum merupakan bagian dari sejarah umum sesuai dengan apa yang dicita-citakan, seyogyanya sejarah menyajikan dalam bentuk sinopsis suatu keterpaduan seluruh aspek kemasyarakatan dari abad ke abad, yakni sejak untuk pertama kali tersedia informasi sampai hari ini.
              Di dalam pendahuluan bukunya tentang penelitian sejarah, sejarawan Polandia B. Miskiewicz mengutarakan tugas sejarah sebagai berikut:
Tugas sejarah adalah memeriksa dengan teliti kejadian-kejadian historis, artinya menelusuri otentisitas dan kesungguhan pengetahuan akan fakta-fakta, maupun hubungan satu dengan yang lain di dalam proses sejarah tersebut dan dari sini menurunkan dalil-dalil, hukum-hukum dan kecenderungan-kecenderungan masyarakat. Fakta-fakta tersebut ditentukannya berdasarkan bahan-bahan yang digali dari sumber-sumber dan dari sini melalui metode-metode penelitian yang terukur membaca kehidupan individuil dan kemasyarakatan manusia.[1]

Di dalam kaitannya dengan sejarah, maka kenyataan ini mempunyai dua sisi “Temuan-temuan baru hasil penelitian yang menyangkut masa lampau dan pengamatan hal-ikhwal masa kini yang nyata.”[2]
Sejarah ketatanegaraan Indonesia telah membuktikan bahwa sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, di Indonesia telah berlaku tiga UUD, yaitu:
1.      Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku antara 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949.
2.      Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, yang berlaku antara 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950.
3.      Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.[3]

Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan),  sama sekali tidak ditemukan kewenangan hakim untuk melakukan hak menguji (toetsingsrecht). Kewenangan menguji hanya dimiliki oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berdasarkan ketentuan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
UUD 1950 juga tidak mencantumkan kewenangan menguji (toetsingrecht) yang dimiliki hakim bahkan dalam Pasal 95 ayat (2) UUDS 1950 diatur bahwa “UU tidak dapat diganggu gugat”. Hal tersebut berbeda dengan Konstitusi RIS 1949 yang mengatur bahwa Mahkamah Agung hanya berhak menguji peraturan ketatanegaraan atau UU daerah bagian dan tidak berhak menguji UU Federal, karena UU Federal tidak dapat diganggu gugat.
Gelora reformasi akhirnya juga menerjang perubahan konstitusi. Sejak Awal memang telah dirancang oleh pendiri negara bahwa Undang-Undang Dasar 1945 bukan konstitusi lestari dengan bukti adanya ketentuan Pasal 37 yang memungkinkan terjadinya perubahan. Salah satu hasil dari pemerintahan Habibie adalah terlaksananya pemilihan umum yang demokratis pada tanggal 7 Juni 1999. Para anggota fraksi, baik yang dipilih maupun yang diangkat secara bersama-sama, terus – menerus melakukan perubahan terhadap Batang Tubuh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hasil dari perubahan terhadap Batang Tubuh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sampai saat ini berupa perubahan pertama hingga keempat.
Dua hal yang penting dalam sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 7-18 Agustus 2000 dan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001 berkaitan dengan hak menguji (toetsingsrecht) di Indonesia adalah “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”[4]  Jika kekuasaan kehakiman atau fungsi Yudikatif sebelum perubahan UUD 1945 hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung, sejak perubahan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai bagian dari peradilan dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia setelah amandemen UUD 1945, membawa pencerahan baru dalam memajukan kehidupan demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia. Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi dalam kehidupan negara-negara modern dianggap sebagai fenomena baru dalam mengisi sistem ketatanegaraan yang sudah ada dan mapan. Bagi negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritan menjadi demokrasi, pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi sesuatu yang urgen karena ingin mengubah atau memperbaiki sistem kehidupan ketatanegaraan lebih ideal dan sempurna, khususnya dalam penyelenggaraan pengujian kostitusional terhadap Undang-Undang yang bertentangan dengan Konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi negara. Negara-negara pembentuk Mahkamah Konstitusi, antara lain Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Lithuania dan Indonesia. Berbagai negara di kawasan lain juga membentuk Mahkamah Konstitusi, tetapi hingga kini baru 78 Negara yang mempunyai Mahkamah Konstitusi.[5]
Landasan pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diamanatkan oleh UUD 1945 pada perubahan Ketiga Tahun 2001 dalam Pasal 24 ayat (1) dinyatakan:
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam Ayat (2) dinyatakan pula, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Perubahan UUD 1945 menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Lembaga Negara ini diharapkan berfungsi “untuk melaksanakan kekuasaan peradilan dalam sistem konstitusi, pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi yang kompeten dalam kehidupan bernegara”.[6]Di samping itu, lembaga negara ini juga lebih berperan mendorong mekanisme checks and balances dalam penyelenggaraan negara dan berperan pula dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis.
Berkaitan dengan kedudukan Mahkamah Konstitusi, Mohammad Fajrul Falaakh, pakar dan dosen Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada menilai:
 Kedudukan Mahkamah Konstitusi mengatasi Mahkamah Agung, bukan sejajar atau dibawahnya. Ini karena Mahkamah Konstitusi berhak memutusakan sengketa kewenangan antarlembaga negara, sehingga membuka peluang bagi suatu lembaga negara guna menggugat putusan Mahkamah Agung dalam perkara judicial review.[7]

Ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 Ayat (1), (2), dinyatakan:
(1)   Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a.       Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      Memutuskan sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.       Memutuskan pembubaran partai politik;
d.      Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2)   Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki arti penting dan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini, karena segala ketentuan atau kebijakan yang dibuat penyelenggara negara dapat dinilai secara konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, setiap penyelenggara pemerintahan selalu terbangun oleh dan berlandaskan pada prinsip-prinsip dan ketentuan Konstitusi.
Di samping itu, Mahkamah Konstitusi berperan mengawasi, mengontrol, dan mengimbangi prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi yang seringkali hanya mengandalkan kekuatan politik, dapat dikendalikan dan diimbangi sesuai dengan prinsip demokrasi dan konstitusionalisme atau negara hukum. Adanya Mahkamah Konstitusi juga memberi harapan baru bagi pencari keadilan di tengah masyarakat yang sedang mengalami krisis kepercayaan kepada intitusi pengadilan. Peran Mahkamah Konstitusi lainnya adalah mendorong mekanismie checks and balances dalam penyelenggaraan negara, menjaga konstitusionalitas serta mewujudkan negara hukuk kesejahteraan Indonesia.
Dalam perkembangannya, kinerja Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi sebagai penafsir dan pengawal konstitusi, banyak mendapat sorotan  tajam dari berbagai kalangan, termasuk kalangan Dewan Perwakilan Rakyat. sorotan tajam Dewan Perwakilan Rakyat terhadap kinerja Mahkamah Konstitusi bermuara dan mengkristal pada lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003  tentang Mahkamah Konstitusi. Perlu diketahui, sepanjang 2006 lalu, setidaknya terdapat tiga keputusan MK yang menimbulkan kontroversi di kalangan publik dan DPR. Ketiga keputusan tersebut yaitu:
Pertama,Keputusan MK No 003/PUU-IV/2006 mengenai uji materiil UU No 31/1999 sebagaimana telah diubah UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. MK dalam putusannya menyatakan bahwa penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 bertentangan dengan UUD 1945. Dalam pandangannya, MK menilai penjelasan pasal tersebut telah memperluas kategori unsur perbuatan melawan hukum. Konsep melawan hukum materiil yang merujuk pada hukum tidak tertulis merupakan ukuran yang tidak pasti. Karena itu, pasal tersebut bertentangan dengan prinsip kepastian hukum (rechtzakerheid) dan prinsip keadilan (rechtvaardigheid). Kedua, Keputusan MK No 005/PUUIV/ 2006 mengenai uji materiil UU No 22/2004 tentang Komisi Yudisial. Dalam putusannya, MK membatalkan sejumlah Pasal yang terdapat dalam UU No 22/2004, khususnya Pasal-Pasal yang berkaitan dengan fungsi, tugas, dan kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam hal melakukan pengawasan terhadap hakim karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Ketiga, Keputusan MK No 006/PUU-IV/2006 mengenai uji materiil UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliansi (KKR). Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa UU No 27/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[8]

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003  tentang Mahkamah Konstitusi merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Perubahan Undang-Undang tersebut dilatarbelakangi karena terdapat beberapa ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan.
Beberapa pokok materi penting dalam perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi antara lain susunan majelis kehormatan mahkamah konstitusi, pengawasan hakim konstitusi, masa jabatan ketua dan wakil ketua hakim konstitusi, syarat pendidikan untuk dapat diangkat sebagai hakim konstitusi, serta kode etik dan / atau pedoman prilaku hakim konstitusi.
Berdasarkan hal inilah penulis tertarik menulis makalah ilmiah yang berjudul Sejarah Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003  tentang Mahkamah Konstitusi.





1.2    Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003  tentang Mahkamah Konstitusi?
2.      Bagaimanakah Ius Constituendum Undang-Undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003  tentang Mahkamah Konstitusi?

1.3    Tujuan Penulisan
1.      Untuk menjabarkan sejarah  lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003  tentang Mahkamah Konstitusi.
2.      Untuk mengetahui Ius Constituendum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003  tentang Mahkamah Konstitusi.

1.4    Manfaat Penulisan
Dari segi Akademis, Hasil makalah ilmiah ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum secara umum dan secara khusus, terutama yang berkaitan dengan sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003  tentang Mahkamah Konstitusi dan dalam rangka penyelesaian tugas Pertama mata kuliah sejarah hukum.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003  tentang Mahkamah Konstitusi.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam pandangan para ahli hukum setidaknya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Menurut Bambang Widjojanto, sekurang-kurangnya ada dua faktor yang mendorong diskursus dan pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia.
Pertama, pada tingkat Internasional, perkembangan politik di negara yang tengah mengalami proses transisi politik pada periode 1990-an. Korea Selatan, Afrika Selatan dan Ceko adalah negara yang telah mengakomodasi pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam konstitusinya dan pada sistem kekuasaannya. Alasan utama berbagai negara itu membentuk Mahkamah Konstitusi adalah agar nilai- nilai dasar konstitusi dapat dijamin konsistensinya dan adanya mekanisme yang memungkinkan terjadinya kontrol terhadap kekuasan agar tidak mengingkari nilai dasar yang diatur dalam konstitusi.
Kedua, pada arah Nasional. Setidaknya ada tiga hal penting yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
1.      Ada lack of authority, karena dalam sistem hukum di Indonesia belum ada mekanisme yang mengatur limitatif soal hak uji materiil (undang-undang terhadap konstitusi). Oleh karena itu, berbagai undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi tidak pernah bisa dipersoalkan;
2.      Ada fakta politik terjadinya konflik kelembagaan antara lembaga Kepresidenan dan DPR, yaitu pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dan pengangkatan ketua Mahkamah Agung;
3.      Adanya pandangan bahwa Mahkamah Agung tidak sepenuhnya mampu menjalankan berbagai kewenangan yang melekat pada dirinya, sehingga diperlukan lembaga lainnya untuk menangani berbagai soal ketatanegaraan lainnya di luar Mahkamah Agung.[9]

Beberapa faktor pemicu pembentukan Mahkamah Konstitusi secara teoritis atau praktis dapat dipahami dan cukup rasional. Namun, faktor ketiadaan mekanisme yang mengatur hak uji materiil Undang-Undang terhadap konstitusi dan faktor keberadaan Mahkamah Agung yang belum sepenuhnya menjalankan kewenangannya menjadi dasar kuat membentuk Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Ketiadaan mekanisme yang mengatur hak uji materiil Undang-Undang terhadap konstitusi dalam negara hukum ini patut dipersoalkan karena hal ini berkaitan dengan konsekuensi yang timbul jika ditemukan materi muatan Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945). Ketiadaan mekanisme ini membuat inisiatif, gagasan-gagasan dan upaya ril untuk mencegah perundang-undangan yang bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya (UUD 1945) tidak pernah terealisasi.
Demikian pula keberadaan Mahkamah Agung dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yang secara yuridis hanya berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Fakta empirikal ini mendorong beragam elemen masyarakat mewacanakan idealisme pembentukan lembaga negara yang memiliki kewenangan menguji Undang-Undang yang dipandang bertentangan dengan UUD 1945.
Alhasil, kehidupan ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan mendasar, yakni ketika dimulainya perubahan UUD 1945 Tahun 1999. Kekuasaan kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah Agung, pasca Perubahan UUD 1945 mengalami perubahan. Mahkamah Agung berdampingan dengan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga kekuasaan Kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Kehadiran Mahakamah Konstitusi melalui perubahan ketiga UUD 1945 dalam sidang tahunan MPR (2001) memiliki dasar konstitusional yang kuat. Artinya, eksistensi, kedudukan, kewenangan, kewajiban, dan komposisi para hakimnya diatur dengan tegas dalam UUD 1945. Ditentukan pula dalam UUD 1945, bahwa pembentukan Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 2003.
Eksistensi Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan dalam beberapa Pasal UUD 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 24  ayat (2) dinyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Adapun kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dinyatakan:
(Pasal 24C ayat (1)) Mahkamah  Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (Pasal 24 C ayat (2)) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

 Agar eksistensi Mahkamah Konstitusi terwujud dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, DPR dan Pemerintah menyetujui diundangkannya UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai dasar pijak lembaga negara ini dalam penyelenggaraan pengujian konstitusionalitas sesuai amanat UUD 1945. Pengangkatan Sembilan hakim konstitusi melalui Keputusan Presiden No.177/M/2003 Tanggal 15 Agustus 2003 menjadi puncak dari upaya pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang baru pasca perubahan ketiga UUD 1945. Inilah yang mendasari sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003  tentang Mahkamah Konstitusi merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Perubahan Undang-Undang tersebut dilatarbelakangi untuk memperkuat Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, perubahan ini bertujuan untuk meluruskan Mahkamah Konstitusi kembali sebagai negative legislator. Yakni, hanya berwenang menyatakan suatu norma Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945, bukan menambah norma baru dalam Undang-Undang. Selama ini Mahkamah Konstitusi seringkali bertindak kurang tepat. Seringkali Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang, padahal yang dimohonkan oleh pemohon adalah pembatalan Pasal. Tindakan lain yang dianggap kurang tepat,  yakni Mahkamah Konstitusi seringkali seolah-olah memposisikan dirinya sebagai positive legislator yakni dengan mengadakan norma baru. Padahal, hakikatnya fungsi Mahkamah Konstitusi adalah negative legislator dengan menyatakan satu atau beberapa Pasal tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, Mahkamah Konstitusi terkadang seolah-olah berada di atas lembaga lain.

2.2     Ius Constituendum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003  tentang Mahkamah Konstitusi

Terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 yang merevisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi polemik tersendiri dikalangan ahli hukum Tata Negara di Indonesia. Namun hal yang seharusnya perlu diperhatikan adalah persoalan waktu lahirnya undang-undang ini. Polemik antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai momentum yang mendahului munculnya Undang-Undang ini dapat ditafsirkan sebagai alasan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan upaya pembatasan terhadap kinerja Mahkamah Konstitusi.
Kalau kita teliti secara akademik, maka ada banyak kejanggalan dari terbitnya undang-undang ini. Pertama, alasan menimbang di konsiderannya tidak dijelaskan secara ilmiah mengapa dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum di tanah air. Yang mana tidak sesuai dan perkembangan seperti apa yang diharapkan tidaklah dijelaskan secara detil. Tentu saja ini dapat ternilai sebagai sebuah pelecehan terhadap undang-undang sebagai kristalisasi norma dan aturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tidak mungkin ada sebuah aturan hukum yang dibuat tidak berdasarkan pada fakta. Apabila asumsi yang kemudian dijadikan alasan untuk meciptakan sebuah aturan maka sama saja mengembalikan Indonesia ke realitas monarki.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 sebagai sebuah upaya untuk menghilangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan keadilan substantif di Indonesia. oleh karena itu, Selasa, 18 Oktober 2011 Mahkamah Konstitusi telah membacakan putusan atas perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Permohonan tersebut sebagaimana diajukan oleh pemohon perkara No. 48/PUU-IX/2011 dan perkara No. 49/PUU-IX/2011. Dalam pengujian ini, sedikitnya 17 ketentuan yang tersebar di 10 Pasal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dilakukan pengujian, dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan 16 ketentuan diantaranya.
Terhadap pengajuan permohonan pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yang berarti Mahkamah Konstitusi menguji Undang-Undang yang mengatur dirinya sendiri, meski ada kekhawatiran dari publik soal netralitas dan independensi Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa perkara ini, Mahkamah Konstitusi memberikan setidaknya tiga argumen konstitusional, yang menjadi alasan bahwa Mahkamah Konstitusi harus tetap memeriksa perkara ini:
1.     Bahwa tidak ada forum lain, selain Mahkamah Konstitusi, yang memiliki wewenang untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945;
2.     Bahwa pada asas dan prinsipnya pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan, seperti juga diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa pengadilan tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada atau tidak cukup hukum yang mengaturnya.
3.     Untuk kepentingan konstitusionalitas bangsa, maka sesuai dengan mandat Pasal 24C UUD 1945, serta peraturan perundang-undangan turunannya, Mahkamah Konstitusi harus tetap memeriksa permohonan pengujian UU Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945.[10]
Terkait dengan  materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, putusan Mahkmah Konstitusi menyatakan:
1.    MK menyatakan ketentuan Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h) UU Nomor 8 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan ini mengatur mengenai mekanisme seleksi Ketua dan Wakil Ketua MK, yang hanya membolehkan dilakukan dalam satu kali rapat dan satu kali putaran. Menurut MK ketentuan ini telah mengakibatkan ketidakpastian hukum, karena secara praktik tidak akan mungkin bisa dilaksanakan.
2.    MK menyatakan ketentuan Pasal 10 UU Nomor 8 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 22 A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Menurut MK ketentuan Pasal 10 yang menempatkan materi penjelasan di dalam batang tubuh, adalah suatu bentuk kekeliruan atau kesalahan legislasi. Ketentuan penjelasan seharusnya ditempatkan di dalam bagian penjelasan suatu undang-undang, bukan di dalam  batang tubuh. Selain itu, Ketentuan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentan MK, yang materinya mengatur tentang kewenangan MK, sampai sekarang juga masih berlaku. Sehingga tidak tepat jika ketentuan Pasal 10 kemudian tiba-tiba memunculkan ketentuan baru yang isinya seharusnya di Penjelasan.
3.    MK menolak permohonan pengujian ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d, yang pada intinya mengatur tentang persyaratan umur minimal bagi seorang calon hakim konstitusi. Ketentuan ini mengubah syarat umur calon hakim konstitusi, dari 40 tahun menjadi 47 tahun. Menurut MK, pengaturan ini adalah bentuk opened legal policy (kebijakan hukum yang terbuka) pembentuk undang-undang, yang sewaktu-waktu bisa diubah, menurut perkembangan yang ada.
4.    MK menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf  h  sepanjang frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara” UU Nomor 8 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan pasal ini jelas memperlihatkan suatu watak pengaturan yang diskriminatif, karena bagi mereka yang pernah menjadi pejabat negara, meskipun belum memiliki pengalaman minimal 15 tahun dalam bidang hukum dan tata negara, kemudian bisa mencalonkan diri sebagai hakim konstitusi. Padahal tentu tidak semua pejabat negara memiliki pengalaman dalam bidang hukum dan tata.
5.    MK menyatakan ketentuan Pasal 26 ayat (5) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan pasal ini menyebutkan bahwa hakim konstitusi pengganti, hanya meneruskan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya. Ketentuan ini menunjukan bahwa DPR hendak menerapkan ketentuan PAW (pergantian antar waktu) yang ada di DPR, ke MK. Padahal dalam PAW di DPR, tidak memerlukan suatu seleksi baru, karena anggota DPR yang menggantikan, dipilih bersamaan pada saat pemilihan umum. Sementara hakim konstitusi, harus melalui tahapan seleksi dan memenuhi persyaratan yang sama dengan hakim konstitusi yang digantikannya, sehingga tidak adil bilamana yang bersangkutan hanya meneruskan sisa masa jabatan hakim yang digantikannya. Sebagai catatan juga, jangan sampai juga periodesasi hakim di MK mengikuti periodesasi politik di DPR. Selain itu dalam menjalankan fungsinya, MK juga membutuhkan konsistensi dan kesinambungan, sehingga bila mengikuti periodesasi politik, akan ada kekosongan hakim konstitusi dalam waktu yang bersaman.
6.    MK menyatakan ketentuan Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e UU Nomor 8 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3),  Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan ini mengatur tentang Majelis Kehormatan Hakim Konstutisi, yang di dalamnya memasukan unsur DPR, Pemerintah, dan MA, sebagai lembaga pengusul calon hakim konstitusi. Ketentuan ini jelas akan mengganggu independensi dan imparsialitas MK dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya.
7.    MK menyatakan ketentuan Pasal 45A jo. Pasal 57 ayat (2a) UU Nomor 8 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan pasal inilah yang melarang MK untuk melakukan ultra petita dalam putusannnya, padalah dalam praktiknya selama ini, ultra petita justru telah memberikan kemanfaatan yang luas bagi kehidupan ketatanegaraan, seperti pada kasus pengujian UU Pemilu, dimana MK membolehkan penggunaan KTP sebagai syarat menggunakan hak suara. Selain itu, pada prinsipnya ultra petita juga hanya dilarang dalam ranah peradilan perdata, kerena sengketanya antar individu, sedangkan dalam ranah peradilan tata negara tidak ada larangan secara prinsipil. Justru kalau ultara petita dilarang malah dikhawatirkan akan menimbulkan kerugian konstitusional bagi publik yang lebih luas. Bahwa kewenangan judicial review sendiri hadir dari suatu ultra petita, dalam perkara Merbury vs. Madison, di Mahkamah Agung Federal Amerika Serikat.
8.    MK menyatakan ketentuan Pasal 50A UU Nomor 8 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 22A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan pasal ini melarang MK menggunakan undang-undang lain, sebagai pijakan untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang lainnya. Padahal untuk melakukan pengujian terhadap suatau undang-undang tertentu, MK perlu mempertimbangkan juga undang-undang yang terkait, demi terciptanya harmonisasi, sehingga kalau itu dilarang malah akan menimbulkan kesemrawutan hukum.
9.    MK menyatakan ketentuan Pasal 59 ayat (2) Perubahan UU MK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan pasal ini intinya mengatakan, “Jika diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan MK…”. ketentuan tersebut jelas telah mengingkari sifat putusan MK itu sendiri, yang bersifat final dan mengikat (final and binding), yang di dalamnya salah satunya mengandung sifat eksekutorial, yang artinya haru segera dilakukan eksekusi. Sehingga menjadi pertanyaan besar, kalau putusan MK hanya akan dieksekusi, jikalau pemerintah dan DPR merasa perlu saja. Munculnya ketentuan ini mencerminkan bagaiaman Pemerintah dan DPR selama ini, yang sangat lambat dalam merespon amar dari putusan MK, untuk melakukan amandemen terhadap suatu undang-undang.
10.          MK menyatakan ketentuan Pasal 87  Perubahan UU MK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan ini mengatur tentang ketentuan peralihan, yang seharusnya ditujukan untuk adanya suatau kepastian hukum, tetapi pada kenyataannya justru munculnya aturan peralihan ini, telah melahirkan suatu kondisi ketidakpastian hukum.[11]
Keluarnya putusan ini, kian memperlihatkan dengan jelas, betapa buruknya kualitas legislasi DPR dan pemerintah, dalam pembentukan suatu Undang-Undang. Khusus untuk revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, semangat yang ada di pembentuk undang-undang, justru semangat untuk membatasi Mahkamah Konstitusi, yang justru potensial akan menghambat perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Selain itu, putusan ini juga memperlihatkan betapa kurangnya pemahaman pembentuk undang-undang, tentang arti penting dan maksud dari suatu mekanisme pengujian undang-undang (judicial review), sebagai alat dari bangunan sistem cheks and balances yang dianut oleh suatau negara yang menganut paham demokrasi konstitusional. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 juga memperlihatkan betapa pembentuk undang-undang tidak mencermati dan mengakomodasi realitas dan kebutuhan ketatanegaraan kekinian, sehingga aturan yang dilahirkan justru menjauh dari kebutuhan dewasa ini. Bangunan ketatanegaraan yang berprinsip pada konstitusionalisme yang sudah dibangun dalam satu dasawarsa terakhir, pasca-amandemen konstitusi menjadi terancam, bilamana beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tersebut tidak dibatalkan. Oleh karena itu, besar kemungkinan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003  tentang Mahkamah Konstitusi akan di revisi kembali.

BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan yang diteliti dan dianalisis melalui pegkajian dalam bab sebelumnya, maka ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    Agar eksistensi Mahkamah Konstitusi terwujud dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, DPR dan Pemerintah menyetujui diundangkannya UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai dasar pijak lembaga negara ini dalam penyelenggaraan pengujian konstitusionalitas sesuai amanat Pasal 24 ayat 2 dan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang merupakan  sejarah lahirnya undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
2.    Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 memperlihatkan betapa pembentuk undang-undang tidak mencermati dan mengakomodasi realitas dan kebutuhan ketatanegaraan kekinian, sehingga aturan yang dilahirkan justru menjauh dari kebutuhan dewasa ini. Bangunan ketatanegaraan yang berprinsip pada konstitusionalisme yang sudah dibangun dalam satu dasawarsa terakhir, pasca-amandemen konstitusi menjadi terancam, bilamana beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tersebut tidak dibatalkan. Oleh karena itu, besar kemungkinan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003  tentang Mahkamah Konstitusi akan di revisi kembali.

3.2    Saran
1.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003  tentang Mahkamah Konstitusi perlu segera di revisi agar tidak semakin menambah polemik yang terjadi antara Mahkamah Konstitusi dan DPR.








DAFTAR PUSTAKA


A.  BUKU
Dahlan Thaib, dkk. Teori dan Hukum konstitusi, cet.2, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001

Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, cet. 5, PT Refika Aditama, Bandung, 2011

Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005

Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, P.T.Alumni Bandung, Bandung, 2008

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010

Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, In-Trans, Malang, 2004


B.  Internet
Firdaus Arifin, Menyoal Revisi UU MK, www.komisiyudisial.go.id, diunduh tanggal 27 Mei 2012

Wahyudidjafar, Catatan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, www. wahyudidjafar.net, diunduh Tanggal 24 Mei 2011

















[1] Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, cet. 5, PT Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 8
[2] Ibid., hlm. 10
[3] Dahlan Thaib, dkk. Teori dan Hukum konstitusi, cet.2, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 99
[4] Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 3
[5] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 201
[6] Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, P.T.Alumni Bandung, Bandung, 2008, hlm. 136.
[7] Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, In-Trans, Malang, 2004, hlm. 314.
[8] Firdaus Arifin, Menyoal Revisi UU MK, www.komisiyudisial.go.id, di unduh tanggal 27 Mei 2012
[9] Ibid,. hlm. 113
[10] Wahyudidjafar, Catatan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, www. wahyudidjafar.net, diunduh Tanggal 24 Mei 2011
[11] Ibid.

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1zecWfyfP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar