BAB I
PENDAHULUAN
Oleh : BUNGA PERMATASARI, SH
1.1
Latar Belakang
Sebagai ilmu pengetahuan,
sejarah pergaulan hidup manusia tergolong ilmu pengetahuan sosial atau ilmu
pengetahuan kemanusian (humaniora), yang mempunyai kesamaan dengan ilmu
pengetahuan alam, yakni bahwa semua adalah empiris, artinya bertumpu pada
pengamatan dan pengalaman suatu aspek tertentu dari kenyataan. Sejarah
mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya, sedangkan
sejarah hukum satu aspek tertentu dari hal itu, yakni hukum. Sejarah hukum
merupakan bagian dari sejarah umum sesuai dengan apa yang dicita-citakan,
seyogyanya sejarah menyajikan dalam bentuk sinopsis suatu keterpaduan seluruh
aspek kemasyarakatan dari abad ke abad, yakni sejak untuk pertama kali tersedia
informasi sampai hari ini.
Di
dalam pendahuluan bukunya tentang penelitian sejarah, sejarawan Polandia B.
Miskiewicz mengutarakan tugas sejarah sebagai berikut:
Tugas sejarah adalah memeriksa dengan teliti kejadian-kejadian historis,
artinya menelusuri otentisitas dan kesungguhan pengetahuan akan fakta-fakta,
maupun hubungan satu dengan yang lain di dalam proses sejarah tersebut dan dari
sini menurunkan dalil-dalil, hukum-hukum dan kecenderungan-kecenderungan
masyarakat. Fakta-fakta tersebut ditentukannya berdasarkan bahan-bahan yang
digali dari sumber-sumber dan dari sini melalui metode-metode penelitian yang
terukur membaca kehidupan individuil dan kemasyarakatan manusia.[1]
Di dalam kaitannya dengan sejarah, maka kenyataan ini
mempunyai dua sisi “Temuan-temuan baru hasil penelitian yang menyangkut masa
lampau dan pengamatan hal-ikhwal masa kini yang nyata.”[2]
Sejarah ketatanegaraan Indonesia telah membuktikan
bahwa sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945, di Indonesia telah berlaku tiga UUD, yaitu:
1.
Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku antara 18
Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949.
2.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, yang
berlaku antara 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950.
3.
Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang berlaku
antara 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.[3]
Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(sebelum perubahan), sama sekali tidak
ditemukan kewenangan hakim untuk melakukan hak menguji (toetsingsrecht). Kewenangan menguji hanya dimiliki oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) berdasarkan ketentuan dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
UUD 1950 juga tidak mencantumkan kewenangan menguji
(toetsingrecht) yang dimiliki hakim bahkan dalam Pasal 95 ayat (2) UUDS 1950
diatur bahwa “UU tidak dapat diganggu gugat”. Hal tersebut berbeda dengan
Konstitusi RIS 1949 yang mengatur bahwa Mahkamah Agung hanya berhak menguji
peraturan ketatanegaraan atau UU daerah bagian dan tidak berhak menguji UU
Federal, karena UU Federal tidak dapat diganggu gugat.
Gelora reformasi akhirnya juga menerjang perubahan
konstitusi. Sejak Awal memang telah dirancang oleh pendiri negara bahwa
Undang-Undang Dasar 1945 bukan konstitusi lestari dengan bukti adanya ketentuan
Pasal 37 yang memungkinkan terjadinya perubahan. Salah satu hasil dari
pemerintahan Habibie adalah terlaksananya pemilihan umum yang demokratis pada
tanggal 7 Juni 1999. Para anggota fraksi, baik yang dipilih maupun yang
diangkat secara bersama-sama, terus – menerus melakukan perubahan terhadap
Batang Tubuh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hasil dari perubahan
terhadap Batang Tubuh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sampai saat ini
berupa perubahan pertama hingga keempat.
Dua hal yang penting dalam sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 7-18 Agustus 2000 dan
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001
berkaitan dengan hak menguji (toetsingsrecht) di Indonesia adalah “Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang
Kekuasaan Kehakiman dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.”[4] Jika kekuasaan kehakiman atau fungsi
Yudikatif sebelum perubahan UUD 1945 hanya terdiri atas badan-badan pengadilan
yang berpuncak pada Mahkamah Agung, sejak perubahan UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi dikonstruksikan sebagai bagian dari peradilan dalam penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia setelah amandemen UUD 1945, membawa pencerahan baru
dalam memajukan kehidupan demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia. Keberadaan
lembaga Mahkamah Konstitusi dalam kehidupan negara-negara modern dianggap
sebagai fenomena baru dalam mengisi sistem ketatanegaraan yang sudah ada dan
mapan. Bagi negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritan menjadi
demokrasi, pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi sesuatu yang urgen karena
ingin mengubah atau memperbaiki sistem kehidupan ketatanegaraan lebih ideal dan
sempurna, khususnya dalam penyelenggaraan pengujian kostitusional terhadap
Undang-Undang yang bertentangan dengan Konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi
negara. Negara-negara pembentuk Mahkamah Konstitusi, antara lain Afrika
Selatan, Korea Selatan, Thailand, Lithuania dan Indonesia. Berbagai negara di
kawasan lain juga membentuk Mahkamah Konstitusi, tetapi hingga kini baru 78
Negara yang mempunyai Mahkamah Konstitusi.[5]
Landasan pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia,
dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diamanatkan oleh UUD 1945 pada
perubahan Ketiga Tahun 2001 dalam Pasal 24 ayat (1) dinyatakan:
Kekuasaan
Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam Ayat (2) dinyatakan pula, kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer,
Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Perubahan UUD 1945 menempatkan Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Lembaga Negara
ini diharapkan berfungsi “untuk melaksanakan kekuasaan peradilan dalam sistem
konstitusi, pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi yang kompeten dalam
kehidupan bernegara”.[6]Di
samping itu, lembaga negara ini juga lebih berperan mendorong mekanisme checks and balances dalam
penyelenggaraan negara dan berperan pula dalam mewujudkan negara hukum yang
demokratis.
Berkaitan dengan kedudukan Mahkamah Konstitusi,
Mohammad Fajrul Falaakh, pakar dan dosen Hukum Tata Negara Universitas Gajah
Mada menilai:
Kedudukan Mahkamah Konstitusi mengatasi
Mahkamah Agung, bukan sejajar atau dibawahnya. Ini karena Mahkamah Konstitusi
berhak memutusakan sengketa kewenangan antarlembaga negara, sehingga membuka
peluang bagi suatu lembaga negara guna menggugat putusan Mahkamah Agung dalam
perkara judicial review.[7]
Ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan
UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 Ayat (1), (2), dinyatakan:
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Memutuskan sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutuskan pembubaran partai politik;
d. Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, Mahkamah
Konstitusi memiliki arti penting dan strategis dalam perkembangan
ketatanegaraan dewasa ini, karena segala ketentuan atau kebijakan yang dibuat
penyelenggara negara dapat dinilai secara konstitusional oleh Mahkamah
Konstitusi. Dengan demikian, setiap penyelenggara pemerintahan selalu terbangun
oleh dan berlandaskan pada prinsip-prinsip dan ketentuan Konstitusi.
Di samping itu, Mahkamah Konstitusi berperan
mengawasi, mengontrol, dan mengimbangi prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi
yang seringkali hanya mengandalkan kekuatan politik, dapat dikendalikan dan
diimbangi sesuai dengan prinsip demokrasi dan konstitusionalisme atau negara
hukum. Adanya Mahkamah Konstitusi juga memberi harapan baru bagi pencari
keadilan di tengah masyarakat yang sedang mengalami krisis kepercayaan kepada
intitusi pengadilan. Peran Mahkamah Konstitusi lainnya adalah mendorong
mekanismie checks and balances dalam
penyelenggaraan negara, menjaga konstitusionalitas serta mewujudkan negara
hukuk kesejahteraan Indonesia.
Dalam perkembangannya, kinerja Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga negara yang berfungsi sebagai penafsir dan pengawal konstitusi, banyak
mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan,
termasuk kalangan Dewan Perwakilan Rakyat. sorotan tajam Dewan Perwakilan Rakyat terhadap kinerja Mahkamah Konstitusi
bermuara dan mengkristal pada lahirnya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Perlu
diketahui, sepanjang 2006 lalu, setidaknya terdapat tiga keputusan MK yang
menimbulkan kontroversi di kalangan publik dan DPR. Ketiga keputusan tersebut
yaitu:
Pertama,Keputusan
MK No 003/PUU-IV/2006 mengenai uji materiil UU No 31/1999 sebagaimana telah
diubah UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. MK dalam
putusannya menyatakan bahwa penjelasan Pasal 2 ayat
1 UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam
pandangannya, MK menilai penjelasan pasal tersebut telah memperluas kategori
unsur perbuatan melawan hukum. Konsep melawan hukum materiil yang merujuk pada
hukum tidak tertulis merupakan ukuran yang tidak pasti. Karena itu, pasal
tersebut bertentangan dengan prinsip kepastian hukum (rechtzakerheid) dan prinsip keadilan (rechtvaardigheid). Kedua, Keputusan MK No
005/PUUIV/ 2006 mengenai uji materiil UU No 22/2004 tentang Komisi Yudisial.
Dalam putusannya, MK membatalkan sejumlah Pasal yang terdapat dalam UU No 22/2004, khususnya Pasal-Pasal yang berkaitan dengan fungsi, tugas, dan kewenangan Komisi
Yudisial (KY) dalam hal melakukan pengawasan terhadap hakim karena dianggap
bertentangan dengan UUD 1945. Ketiga, Keputusan MK No 006/PUU-IV/2006
mengenai uji materiil UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliansi
(KKR).
Dalam
putusannya, MK menyatakan bahwa UU No 27/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[8]
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi
merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Perubahan Undang-Undang tersebut dilatarbelakangi karena terdapat
beberapa ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan.
Beberapa pokok materi penting dalam perubahan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi antara lain
susunan majelis kehormatan mahkamah konstitusi, pengawasan hakim konstitusi,
masa jabatan ketua dan wakil ketua hakim konstitusi, syarat pendidikan untuk
dapat diangkat sebagai hakim konstitusi, serta kode etik dan / atau pedoman
prilaku hakim konstitusi.
Berdasarkan hal inilah penulis tertarik menulis
makalah ilmiah yang berjudul Sejarah Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi?
2.
Bagaimanakah Ius
Constituendum Undang-Undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi?
1.3
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
menjabarkan sejarah lahirnya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
2.
Untuk mengetahui Ius Constituendum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
1.4 Manfaat
Penulisan
Dari
segi Akademis, Hasil makalah
ilmiah ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
hukum secara umum dan secara khusus, terutama yang berkaitan dengan sejarah
lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan dalam rangka penyelesaian tugas Pertama mata
kuliah sejarah hukum.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam pandangan para
ahli hukum setidaknya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Menurut Bambang
Widjojanto, sekurang-kurangnya ada dua faktor yang mendorong diskursus dan
pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia.
Pertama, pada tingkat Internasional, perkembangan
politik di negara yang tengah mengalami proses transisi politik pada periode
1990-an. Korea Selatan, Afrika Selatan dan Ceko adalah negara yang telah
mengakomodasi pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam konstitusinya dan pada
sistem kekuasaannya. Alasan utama berbagai negara itu membentuk Mahkamah
Konstitusi adalah agar nilai- nilai dasar konstitusi dapat dijamin
konsistensinya dan adanya mekanisme yang memungkinkan terjadinya kontrol
terhadap kekuasan agar tidak mengingkari nilai dasar yang diatur dalam
konstitusi.
Kedua, pada arah Nasional. Setidaknya ada tiga hal
penting yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
1. Ada lack of authority, karena
dalam sistem hukum di Indonesia belum ada mekanisme yang mengatur limitatif
soal hak uji materiil (undang-undang terhadap konstitusi). Oleh karena itu,
berbagai undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi tidak pernah bisa
dipersoalkan;
2. Ada fakta politik terjadinya konflik kelembagaan antara lembaga Kepresidenan
dan DPR, yaitu pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dan pengangkatan ketua
Mahkamah Agung;
3. Adanya pandangan bahwa Mahkamah Agung tidak sepenuhnya mampu menjalankan
berbagai kewenangan yang melekat pada dirinya, sehingga diperlukan lembaga
lainnya untuk menangani berbagai soal ketatanegaraan lainnya di luar Mahkamah
Agung.[9]
Beberapa faktor pemicu pembentukan Mahkamah Konstitusi
secara teoritis atau praktis dapat dipahami dan cukup rasional. Namun, faktor
ketiadaan mekanisme yang mengatur hak uji materiil Undang-Undang terhadap
konstitusi dan faktor keberadaan Mahkamah Agung yang belum sepenuhnya
menjalankan kewenangannya menjadi dasar kuat membentuk Mahkamah Konstitusi
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Ketiadaan mekanisme yang mengatur hak uji materiil
Undang-Undang terhadap konstitusi dalam negara hukum ini patut dipersoalkan
karena hal ini berkaitan dengan konsekuensi yang timbul jika ditemukan materi muatan
Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945). Ketiadaan
mekanisme ini membuat inisiatif, gagasan-gagasan dan upaya ril untuk mencegah
perundang-undangan yang bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih
tinggi derajatnya (UUD 1945) tidak pernah terealisasi.
Demikian pula keberadaan Mahkamah Agung dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, yang secara yuridis hanya berwenang menguji peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Fakta empirikal
ini mendorong beragam elemen masyarakat mewacanakan idealisme pembentukan
lembaga negara yang memiliki kewenangan menguji Undang-Undang yang dipandang
bertentangan dengan UUD 1945.
Alhasil, kehidupan ketatanegaraan Indonesia mengalami
perubahan mendasar, yakni ketika dimulainya perubahan UUD 1945 Tahun 1999.
Kekuasaan kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah Agung, pasca Perubahan UUD
1945 mengalami perubahan. Mahkamah Agung berdampingan dengan Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga kekuasaan Kehakiman dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.
Kehadiran Mahakamah Konstitusi melalui perubahan
ketiga UUD 1945 dalam sidang tahunan MPR (2001) memiliki dasar konstitusional
yang kuat. Artinya, eksistensi, kedudukan, kewenangan, kewajiban, dan komposisi
para hakimnya diatur dengan tegas dalam UUD 1945. Ditentukan pula dalam UUD
1945, bahwa pembentukan Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya tanggal 17
Agustus 2003.
Eksistensi Mahkamah Konstitusi dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan dalam beberapa Pasal UUD
1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa “kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Adapun kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi tercantum dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dinyatakan:
(Pasal 24C ayat
(1)) Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum. (Pasal 24 C ayat (2)) Mahkamah Konstitusi wajib
memberikan putusan atas pendapat Dewan perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Agar eksistensi Mahkamah Konstitusi terwujud
dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, DPR dan Pemerintah menyetujui
diundangkannya UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai dasar
pijak lembaga negara ini dalam penyelenggaraan pengujian konstitusionalitas
sesuai amanat UUD 1945. Pengangkatan Sembilan hakim konstitusi melalui
Keputusan Presiden No.177/M/2003 Tanggal 15 Agustus 2003 menjadi puncak dari
upaya pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
yang baru pasca perubahan ketiga UUD 1945. Inilah yang mendasari sejarah
lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi
merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Perubahan Undang-Undang tersebut dilatarbelakangi untuk memperkuat Mahkamah Konstitusi sebagai salah
satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, perubahan ini bertujuan
untuk meluruskan Mahkamah Konstitusi kembali sebagai negative legislator.
Yakni, hanya berwenang menyatakan suatu norma Undang-Undang bertentangan dengan
UUD 1945, bukan menambah norma baru dalam Undang-Undang. Selama ini Mahkamah Konstitusi
seringkali bertindak kurang tepat. Seringkali Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang,
padahal yang dimohonkan oleh pemohon adalah pembatalan Pasal. Tindakan lain
yang dianggap kurang tepat, yakni Mahkamah
Konstitusi seringkali seolah-olah memposisikan dirinya sebagai positive
legislator yakni dengan mengadakan norma baru. Padahal, hakikatnya fungsi Mahkamah
Konstitusi adalah negative legislator dengan menyatakan satu atau
beberapa Pasal tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, Mahkamah Konstitusi
terkadang seolah-olah berada di atas lembaga lain.
2.2 Ius
Constituendum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi
Terbitnya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 yang merevisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi polemik tersendiri dikalangan ahli
hukum Tata Negara di Indonesia. Namun hal yang seharusnya perlu diperhatikan
adalah persoalan waktu
lahirnya undang-undang ini. Polemik antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai momentum yang mendahului munculnya Undang-Undang ini
dapat ditafsirkan sebagai alasan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan upaya
pembatasan terhadap kinerja Mahkamah Konstitusi.
Kalau kita teliti secara akademik, maka
ada banyak kejanggalan dari terbitnya undang-undang ini. Pertama, alasan menimbang
di konsiderannya tidak dijelaskan secara ilmiah mengapa dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tidak sesuai
lagi dengan perkembangan hukum
di tanah air. Yang mana tidak sesuai dan perkembangan seperti apa yang
diharapkan tidaklah dijelaskan secara detil. Tentu saja ini dapat ternilai
sebagai sebuah pelecehan terhadap undang-undang sebagai kristalisasi norma dan
aturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tidak mungkin ada
sebuah aturan hukum
yang dibuat tidak berdasarkan pada fakta. Apabila asumsi yang kemudian
dijadikan alasan untuk meciptakan sebuah aturan maka sama saja mengembalikan
Indonesia ke realitas monarki.
Keberadaan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 sebagai
sebuah upaya untuk menghilangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
menegakkan keadilan substantif di Indonesia.
oleh karena itu, Selasa, 18 Oktober 2011 Mahkamah
Konstitusi telah membacakan putusan atas perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Permohonan tersebut sebagaimana diajukan oleh pemohon
perkara No. 48/PUU-IX/2011 dan perkara No. 49/PUU-IX/2011. Dalam pengujian ini,
sedikitnya 17 ketentuan yang tersebar di 10 Pasal
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dilakukan
pengujian, dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan 16
ketentuan diantaranya.
Terhadap pengajuan permohonan pengujian Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, yang berarti Mahkamah Konstitusi menguji Undang-Undang
yang mengatur dirinya sendiri, meski ada kekhawatiran dari publik soal
netralitas dan independensi Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa perkara ini,
Mahkamah Konstitusi memberikan setidaknya tiga argumen konstitusional, yang
menjadi alasan bahwa Mahkamah Konstitusi harus tetap memeriksa perkara ini:
1. Bahwa
tidak ada forum lain, selain Mahkamah Konstitusi, yang memiliki wewenang untuk
melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945;
2. Bahwa
pada asas dan prinsipnya pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan,
seperti juga diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
yang menegaskan bahwa pengadilan tidak boleh menolak perkara dengan alasan
tidak ada atau tidak cukup hukum yang mengaturnya.
3. Untuk
kepentingan konstitusionalitas bangsa, maka sesuai dengan mandat Pasal
24C UUD 1945, serta peraturan perundang-undangan turunannya, Mahkamah
Konstitusi harus tetap memeriksa permohonan pengujian UU Mahkamah Konstitusi
terhadap UUD 1945.[10]
Terkait dengan materi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, putusan Mahkmah Konstitusi menyatakan:
1. MK
menyatakan ketentuan Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h) UU Nomor 8
Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945,
sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan ini mengatur
mengenai mekanisme seleksi Ketua dan Wakil Ketua MK, yang hanya membolehkan
dilakukan dalam satu kali rapat dan satu kali putaran. Menurut MK ketentuan ini
telah mengakibatkan ketidakpastian hukum, karena secara praktik tidak akan
mungkin bisa dilaksanakan.
2. MK
menyatakan ketentuan Pasal 10 UU Nomor 8 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal
22 A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat. Menurut MK ketentuan Pasal 10 yang menempatkan materi penjelasan di
dalam batang tubuh, adalah suatu bentuk kekeliruan atau kesalahan legislasi.
Ketentuan penjelasan seharusnya ditempatkan di dalam bagian penjelasan suatu
undang-undang, bukan di dalam batang tubuh. Selain
itu, Ketentuan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentan MK, yang materinya mengatur
tentang kewenangan MK, sampai sekarang juga masih berlaku. Sehingga tidak tepat
jika ketentuan Pasal 10 kemudian tiba-tiba memunculkan ketentuan baru yang isinya
seharusnya di Penjelasan.
3. MK
menolak permohonan pengujian ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d, yang pada
intinya mengatur tentang persyaratan umur minimal bagi seorang calon hakim
konstitusi. Ketentuan ini mengubah syarat umur calon hakim konstitusi, dari 40
tahun menjadi 47 tahun. Menurut MK, pengaturan ini adalah bentuk opened
legal policy (kebijakan hukum yang terbuka) pembentuk undang-undang, yang
sewaktu-waktu bisa diubah, menurut perkembangan yang ada.
4. MK
menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf h
sepanjang frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara” UU Nomor 8 Tahun
2011 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 24C
ayat (5) UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan
pasal ini jelas memperlihatkan suatu watak pengaturan yang diskriminatif,
karena bagi mereka yang pernah menjadi pejabat negara, meskipun belum memiliki
pengalaman minimal 15 tahun dalam bidang hukum dan tata negara, kemudian bisa
mencalonkan diri sebagai hakim konstitusi. Padahal tentu tidak semua pejabat
negara memiliki pengalaman dalam bidang hukum dan tata.
5. MK
menyatakan ketentuan Pasal 26 ayat (5) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan pasal ini
menyebutkan bahwa hakim konstitusi pengganti, hanya meneruskan sisa masa
jabatan hakim konstitusi yang digantikannya. Ketentuan ini menunjukan bahwa DPR
hendak menerapkan ketentuan PAW (pergantian antar waktu) yang ada di DPR, ke
MK. Padahal dalam PAW di DPR, tidak memerlukan suatu seleksi baru, karena
anggota DPR yang menggantikan, dipilih bersamaan pada saat pemilihan umum. Sementara
hakim konstitusi, harus melalui tahapan seleksi dan memenuhi persyaratan yang
sama dengan hakim konstitusi yang digantikannya, sehingga tidak adil bilamana
yang bersangkutan hanya meneruskan sisa masa jabatan hakim yang digantikannya.
Sebagai catatan juga, jangan sampai juga periodesasi hakim di MK mengikuti
periodesasi politik di DPR. Selain itu dalam menjalankan fungsinya, MK juga
membutuhkan konsistensi dan kesinambungan, sehingga bila mengikuti periodesasi
politik, akan ada kekosongan hakim konstitusi dalam waktu yang bersaman.
6. MK
menyatakan ketentuan Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e UU Nomor
8 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan
ini mengatur tentang Majelis Kehormatan Hakim Konstutisi, yang di dalamnya
memasukan unsur DPR, Pemerintah, dan MA, sebagai lembaga pengusul calon hakim
konstitusi. Ketentuan ini jelas akan mengganggu independensi dan imparsialitas
MK dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya.
7. MK
menyatakan ketentuan Pasal 45A jo. Pasal 57 ayat (2a) UU Nomor 8 Tahun 2011
bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan pasal inilah yang melarang MK untuk
melakukan ultra petita dalam putusannnya, padalah dalam praktiknya selama ini,
ultra petita justru telah memberikan kemanfaatan yang luas bagi kehidupan
ketatanegaraan, seperti pada kasus pengujian UU Pemilu, dimana MK membolehkan
penggunaan KTP sebagai syarat menggunakan hak suara. Selain itu, pada
prinsipnya ultra petita juga hanya dilarang dalam ranah peradilan perdata,
kerena sengketanya antar individu, sedangkan dalam ranah peradilan tata negara
tidak ada larangan secara prinsipil. Justru kalau ultara petita dilarang malah
dikhawatirkan akan menimbulkan kerugian konstitusional bagi publik yang lebih
luas. Bahwa kewenangan judicial review sendiri hadir dari suatu ultra petita,
dalam perkara Merbury vs. Madison, di Mahkamah Agung Federal Amerika Serikat.
8. MK
menyatakan ketentuan Pasal 50A UU Nomor 8 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal
22A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat. Ketentuan pasal ini melarang MK menggunakan undang-undang lain,
sebagai pijakan untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang lainnya.
Padahal untuk melakukan pengujian terhadap suatau undang-undang tertentu, MK
perlu mempertimbangkan juga undang-undang yang terkait, demi terciptanya
harmonisasi, sehingga kalau itu dilarang malah akan menimbulkan kesemrawutan
hukum.
9. MK
menyatakan ketentuan Pasal 59 ayat (2) Perubahan UU MK bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Ketentuan pasal ini intinya mengatakan, “Jika diperlukan perubahan terhadap
Undang-Undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti
putusan MK…”. ketentuan tersebut jelas telah mengingkari sifat putusan MK
itu sendiri, yang bersifat final dan mengikat (final and binding), yang di
dalamnya salah satunya mengandung sifat eksekutorial, yang artinya haru segera
dilakukan eksekusi. Sehingga menjadi pertanyaan besar, kalau putusan MK hanya
akan dieksekusi, jikalau pemerintah dan DPR merasa perlu saja. Munculnya
ketentuan ini mencerminkan bagaiaman Pemerintah dan DPR selama ini, yang sangat
lambat dalam merespon amar dari putusan MK, untuk melakukan amandemen terhadap
suatu undang-undang.
10.
MK menyatakan ketentuan Pasal 87
Perubahan UU MK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan ini mengatur tentang ketentuan
peralihan, yang seharusnya ditujukan untuk adanya suatau kepastian hukum,
tetapi pada kenyataannya justru munculnya aturan peralihan ini, telah
melahirkan suatu kondisi ketidakpastian hukum.[11]
Keluarnya
putusan ini, kian memperlihatkan dengan jelas, betapa buruknya kualitas
legislasi DPR dan pemerintah, dalam pembentukan suatu Undang-Undang. Khusus
untuk revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, semangat yang ada di pembentuk
undang-undang, justru semangat untuk membatasi Mahkamah Konstitusi, yang justru
potensial akan menghambat perlindungan hak-hak konstitusional warga negara.
Selain itu, putusan ini juga memperlihatkan betapa kurangnya pemahaman
pembentuk undang-undang, tentang arti penting dan maksud dari suatu mekanisme
pengujian undang-undang (judicial review), sebagai alat dari bangunan
sistem cheks and balances yang dianut oleh suatau negara yang menganut
paham demokrasi konstitusional. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 juga
memperlihatkan betapa pembentuk undang-undang tidak mencermati dan
mengakomodasi realitas dan kebutuhan ketatanegaraan kekinian, sehingga aturan
yang dilahirkan justru menjauh dari kebutuhan dewasa ini. Bangunan
ketatanegaraan yang berprinsip pada konstitusionalisme yang sudah dibangun
dalam satu dasawarsa terakhir, pasca-amandemen konstitusi menjadi terancam,
bilamana beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tersebut
tidak dibatalkan. Oleh karena itu, besar kemungkinan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi akan di revisi kembali.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan
permasalahan yang diteliti dan dianalisis melalui pegkajian dalam bab
sebelumnya, maka ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Agar eksistensi Mahkamah Konstitusi terwujud dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya, DPR dan Pemerintah menyetujui
diundangkannya UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai dasar
pijak lembaga negara ini dalam penyelenggaraan pengujian konstitusionalitas
sesuai amanat Pasal 24 ayat 2 dan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang
merupakan sejarah lahirnya undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
2. Lahirnya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 memperlihatkan betapa pembentuk undang-undang
tidak mencermati dan mengakomodasi realitas dan kebutuhan ketatanegaraan
kekinian, sehingga aturan yang dilahirkan justru menjauh dari kebutuhan dewasa
ini. Bangunan ketatanegaraan yang berprinsip pada konstitusionalisme yang sudah
dibangun dalam satu dasawarsa terakhir, pasca-amandemen konstitusi menjadi
terancam, bilamana beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tersebut tidak dibatalkan. Oleh karena itu, besar kemungkinan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi akan di revisi kembali.
3.2
Saran
1. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi perlu segera
di revisi agar tidak semakin menambah polemik yang terjadi antara Mahkamah
Konstitusi dan DPR.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Dahlan Thaib, dkk. Teori dan Hukum konstitusi, cet.2,
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001
Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar,
cet. 5, PT Refika Aditama, Bandung, 2011
Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005
Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas
Mahkamah Konstitusi, P.T.Alumni
Bandung, Bandung, 2008
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010
Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan
Konstitusi, In-Trans, Malang, 2004
B. Internet
Firdaus Arifin, Menyoal Revisi UU MK, www.komisiyudisial.go.id, diunduh tanggal 27 Mei 2012
Wahyudidjafar, Catatan Putusan Pengujian Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003,
www.
wahyudidjafar.net, diunduh Tanggal 24 Mei 2011
[1]
Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, cet. 5,
PT Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 8
[3]
Dahlan Thaib, dkk. Teori
dan Hukum konstitusi, cet.2, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm.
99
[4]
Fatmawati, Hak
Menguji (Toetsingsrecht) Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005,
hlm. 3
[5]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 201
[6]
Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, P.T.Alumni
Bandung, Bandung, 2008, hlm. 136.
[7]
Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, In-Trans,
Malang, 2004, hlm. 314.
[10]
Wahyudidjafar,
Catatan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, www.
wahyudidjafar.net, diunduh
Tanggal 24 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar