BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Filsafat
berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philosophia.
Philo atau philein berarti cinta, Sophia
berarti kebijaksanaan. Gabungan kedua kata dimaksud berarti cinta
kebijaksanaan. Philosophos adalah
pecinta kebijaksanaan. Dalam bahasa arab disebut Failasuf, kemudian ditransfer ke dalam bahasa Indonesia menjadi
Failasuf atau Filsuf. Selain itu, dalam bahasa Arab dikenal kata hikmah yang
hampir sama dengan arti kebijaksanaan. Kata hikmah atau hakiem dalam bahsa Arab
dipakai dalam pengertian falsafah dan failasuf, tetapi harus dilihat dalam
konteks apa kata hikmah dan hakiem itu digunakan, karena tidak semua kata
hikmah atau hakiem itu digunakan. Hal itu menunjukkan bahwa tidak semua kata
hikmah atau hakiem dapat diartikan falsafah atau filsuf.[1]
Filsafat
membicarakan tentang dasar-dasar sesuatu mengenai keberadaannya, sedangkan
filsafat hukum adalah refleksi teoretis (intelektual) tentang hukum yang paling
tua, dan dapat dikatakan merupakan induk dari semua refleksi teoretis tentang
hukum. Filsafat hukum adalah filsafat. Karena itu ia merenungkan semua masalah
fundamental dan masalah marginal yang berkaitan dengan gejala hukum. Filsafat
adalah refleksi tentang landasan dari kenyataan. Filsafat adalah kegiatan
berfikir secara sistematikal yang hanya dapat merasa puas menerima hasil-hasil
yang timbul dari kegiatan berfikir itu sendiri. Filsafat tidak membatasi diri
hanya pada gejala-gejala indrawi, fisikal, phisikal atau kerohanian saja. Ia
tidak hanya mempertanyakan mengapa dan bagaimananya gejala-gejala ini,
melainkan juga landasan dari
gejala-gejala itu yang lebih dalam, ciri-ciri khas dan hakikat mereka. Ia
berupaya merefleksikan hubungan teoretikal, yang didalamnya gejala-gejala
tersebut dimengerti atau dipikirkan. Dalam hal itu, maka filsafat tidak akan
terlalu lekas puas dengan suatu jawaban. Setiap dalil filsafat harus teragumentasikan atau dibuat dapat
dipahami secara rasional.[2]
Filsafat
hukum juga dibedakan berbagai wilayah-wilayah bagian. M. Van Hoecke menyebutkan
yang berikut ini:
1.
Ontologi Hukum (ajaran pengada, zijnsleer): penelitian
tentang hakkat hukum dan hubngan antara hukum dan moral;
2.
Aksiologi Hukum (ajaran nilai, waardenleer): penetapan
isi nilai-nilai, seperti keadilan, kepatutan, persamaan, kebebasan, dan
sebagainya.,”
3.
Ideologi Hukum (ajaran idea, ideeenleer):
pengejawantahan wawasan menyeluruh tentang manusia dan masyarakat;
4.
Epistemologi Hukum (ajaran pengetahuan, kennisleer):
penelitian terhadap pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang hakikat hukum
dimungkinkan;
5.
Teleologi Hukum (ajaran tujuan, finaliteitsleer):
menentukan makna dan tujuan dari hukum;
6.
Teori ilmu dari hukum: ini adalah filsafat sebagai
meta teori tentang teori hukum dan sebagai meta-meta-teori dari dogmatika
hukum;
7.
Logika Hukum:penelitian tentang kadah-kaidah berfikir
yuridik dan argumentasi yuridik. Bagian ini sering dipandang sebagai suatu
bidang stud tersendiri, yang telah melepas diri dari filsafat hukum.[3]
Pada
dasarnya filsafat hukum bertolak dari titik berdiri internal dan mengaju teori
Kebenaran Pragmatik, yang produk refleksinya dirumuskan dalam
proposisi-proposisi informatif, normatif dan evaluatif.[4]
Filsafat
hukum telah memegang peranan di dalam memimpin semua telaah tentang
lembaga-lembaga manusia selama 2400 tahun lalu, mulai dari pemikir-pemikir
Yunani yang hidup dalam abad kelima sebelum masehi, yang bertanya apakah hak
itu hak yang ditetapkan oleh kodrat alam atau hanya oleh pengundangan dan
konvensi, sampai kepada ahli-ahli kemasyarakatan dewasa ini, yang mencari
tujuan-tujuan, dasar ethik dan asas-asas yang kekal dari pengawasan sosial.[5]
Sepanjang
sejarah hukum, di mulai dari zaman Yunani/ Romawi hingga hari ini, kita
dihadapkan kepada adanya berbagai teori tentang hukum yang lahir ada setiap
babak dari perjalanan sejarah hukum tersebut. Sudah menjadi suatu pendapat yang
diterima umum bahwa suatu teori hukum tidaklah dapat dilepaskan dari lingkungan
zamannya. Beberapa contoh dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pada
zaman Romawi, misalnya, para pemikir hukum lebih dipusatkan perhatiaannya
kepada situasi pada waktu itu, ketika Romawi ingin melaksanakan pemerintahannya
di seluruh wilayah jajahannya secara efektif. Sumbangan yang harus dimainkan
oleh para pemikir tersebut di atas ialah bagaimana dapat menciptakan suatu
ketentuan yang dapat diberlakukan untuk semua wilayah Romawi yang sangat luas.
Karenanya, jika dibandingkan dengan para rekannya di masa Yunani, para pemikir
hukum Romawi lebih terpusatkan perhatiannya pada usaha menjawab permasalahan
hukum yang timbul pada waktu itu secara praktis.
Contoh
lainnya terlihat pada Zaman Pertengahan. Pada waktu itu kekuasaan Gereja
sedemikian besar dan luas sehingga ikut campur dalam maslah kehidupan duniawi
secara menyeluruh. Demikian besar kekuasaan mereka hingga dapat melampaui
kekuasaan raja-raja. Akibat nyata ialah, banyak teori hukum yang lahir pada
kurun waktu ini bernafaskan keagamaan, mengaitkan inti pemikiran hukumnya
dengan ajaran-ajaran gereja. Buah pikiran yang datang dari Thomas Aquino,
misalnya, merupakan suatu contoh tidak terlepasnya alam pikiran filsuf terkenal
ini dari situasi lingkungan tempat dia hidup.
Namun,
hendaknya pula diperhatikan bahwa selain buah pikran yang selaras dengan
situasi yang mendukungnya, terdapat pula buah-buah pikiran lain yang justru
merupakan penentangan terhadap situasi itu, dan berusaha untuk mengubahnya.
Masih pada abad ke-19, selain tampil John Austin dengan positivism dan
analitisnya, lahir pula ajaran sejarah yang didasarkan atas paham romantisme
yang dipelopori Carl von Savigny dan Puchta. Ajaran ini merupakan penentangan
terhadap teori positivism analitis, dan berusaha meyakinkan dunia ilmu hukum
bahwa Das Recht wird nicht gemacht, es
ist und wird mit dem Volke, katanya.
Buah pikiran Savigny, walaupun tidak sepenuhnya berhasil melumpuhkan
pikiran positivisme hukum, pengaruhnya sangat luas dan dasar-dasar pikirannya
banyak menjadi landasan hukum pisitif beberapa negara (Indonesia, misalnya,
yang pada zaman ‘hindia belanda” memberlakukan hukum adat bagi golongann
Indonesia Asli). Selain itu, ajaran beraliran Savigny ini dijadikan dasar pula
untuk ajaran-ajaran yang beraliran sosiologis yang kemudian muncul dan merupakan
teori hukum yang dominan pada abad ke-20. Pemahaman sejarah hukum, nampaknya,
tidak dapat kita kesampingkan dalam mencoba menghayati suatu teori hukum.
Kita
mengenal berbagai klasifikasi teori hukum yang dibuat oleh para penulis hukum.
Northrop, misalnya mengklasifikasikan ajaran atau aliran hukum ke dalam positivisme hukum, pragmatic legal realism,
neo-Kantian dan Kelsenian ethical
jurisprudence, functional anthropological dan sociological jurisprudence, dan hukum alam.[6]
Friedmann membagi aliran tersebut atas aliran hukum alam, aliran yang
didasarkan pada filsafat maslah keadilan, aliran yang didasarkan pada pengaruh
perkembangan masyarakat terhadap hukum, aliran positivisme dan positivisme
hukum, aliran yang didasarkan atas kegunaan dan kepentingan. Soerjono Soekanto
menyebutkan: mazhab utilitarianisme, aliran sociological
jurisprudence, dan aliran realism hukum. Satjipto Rahardjo mengetengahkan
teori-teori Yunani dan Romawi, hukum alam, positivisme dan utilitarianisme, teori
hukum murni, pendekatan-pendekatan sejarah dan antropologis, dan
pendekatan-pendekatan sosiologis. Selain itu ada pula yang mengklasifikasikan
aliran-aliran tersebut hanya ke dalam yang paling berpengaruh saja, yatu aliran
hukum alam, aliran hukum positif, mazhab sejarah, sociological jurisprudence, dan pragmatic
legal realism.[7]
Dan penulis tertarik sekali mengkaji aliran-aliran atau mazhab dalam
filsafat hukum antara lain aliran Hukum alam, Aliran hukum positif, sociological jurisprudence, dan pragmatic legal realism.
Berdasarkan hal inilah
penulis bermaksud membuat Tulisan yang berjudul
“Aliran-Aliran dalam Filsafat Hukum”.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
tersebut di atas, maka tulisan
sederhana ini, bermaksud untuk mencari jawaban sederhana atas permasalahan :
1.2.1
Bagaimanakah pandangan
Filsafat hukum aliran Hukum alam?
1.2.2
Bagaimanakah pandangan
Filsafat hukum aliran hukum positif?
1.2.3
Bagaimanakah pandangan
Filsafat hukum aliran sociological jurisprudence?
1.2.4
Bagaimanakah pandangan
Filsafat hukum aliran pragmatic legal
realism?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pandangan Filsafat Hukum Aliran Hukum Alam
Apabila orang mengikuti sejarah Hukum Alam, maka ia
sedang mengikuti sejarah ummat manusia yang berjuang untuk menemukan keadilan yang
mutlak di dunia ini serta kegagalan-kegagalannya. Sepanjang waktu yang
membentang ribuan tahun lamanya, juga sampai kepada masa sekarang ini, ide
tentang hukum alam ini selalu apa saja muncul sebagai suatu manifestasi dari
usaha manusia yang demikian itu, yaitu yang merindukan adanya suatu hukum yang
lebih tinggi dari hukum positif. Pada suatu ketika ide tentang hukum alam
muncul dengan kuatnya, pada saat yang lain lagi ia diabaikan, tetapi
bagaimanapub ia tidak pernah mati.
Selama sejarahnya, hukum alam telah menjalankan dan
melayani bermacam-macam fungsi, diantaranya:
1.
Ia telah berfungsi sebagai instrument utama pada saat
hukum perdata Romawi Kuno ditransformasikan menjadi suatu sistem internasional
yang luas.
2.
Ia telah menjadi senjata yang dipakai oleh kedua
pihak, yaitu pihak gereja dan kerajaan, dalam pergaulan antara mereka.
3.
Atas nama hukum alamlah kesahan dari hukum
internasional itu ditegakkan.
4.
Ia telah menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan
perjuangan bagi kebebasan individu berhadapan dengan absolutism.
5.
Prinsip-prinsip hukum Alam telah dijadikan senjata
oleh para hakim ameria, pada waktu mereka memberikan tafsiran terhadap
konstitusi mereka, dengan menolak campur tangan negara melalui
perundang-undangan yang ditujukan untuk membatasi kemerdekaan ekonomi.[8]
Aliran hukum alam dalam pemikiran di zaman Romawi
dimunculkan oleh pemikir-pemikir Socrates, Plato, dan Aristoteles. Salah satu
tokoh Romawi yang banyak mengemukakan pemikirannya tentang hukum Alam adalah
Cicero. Cicero mengajarkan konsepnya tentang a True Law (hukum yang benar) yang disesuaikannya dengan right reason (penalaran yang benar),
serta sesuai dengan Alam, dan yang menyebar di antara kemanusiaan dan sifatnya immutable dan eternal. Hukum apa pun harus bersumber dari true law itu. Pada kesempatan lain Cicero mengatakan bahwa, kita
lahir untuk keadilan. Dan hukum tidaklah didasarkan pada opini, tetapi pada man’s very nature.[9]
Di dalam abad pertengahan, menurut H. Thomas van Aquino
(1224-1274) bahwa hukum alam ini bersumber pada hukum ilahi, universal dan
langgeng-lestari, artinya tidak berubah dalam ruang dan waktu, sedangkan hukum
positif adalah penerapan hukum alam oleh manusia di muka bumi ini.[10]
Thomas Aquinas menyatakan bahwa hukum alam berdiri di atas dua asas, yang
disebut Principia Prima dan Principia Secundaria. Principia Prima adalah
prinsip yang berkaitan dengan hak dasar manusia yang bersifat umum, universal
dan berlaku tanpa batas ruang dan waktu. Prinsip ini ini bersifat mutlak dan
melekat pada setiap manusia. Principia Secundaria adalah prinsip-prinsip khusus
yang dijabarkan dari principia Prima. Penjabaran itu dilakukan dengan
menggunakan pikiran manusia dan karenanya dapat memanfaatkan secara menyimpang
oleh manusia untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya.[11]
Di dalam abad XVI, suatu pendapat tentang hukum alam
baru muncul ke permukaan dan bertumpu pada akal manusia, terlepas dari setiap
pandangan keagamaan Hugo De Groot atau Grotius menulis bahwa hal tersebut tidak
pula berlaku, jka Tuhan tidak ada? Hukum alam kaum awam adalah sebuah hukum
rasional yang mengendalikan semua hubungan antara manusia-manusia, apapun rasa atau status sosial mereka.[12]
Menurut Friedmann, sejarah hukum alam adalah sejarah
umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang disebut absolute justice (keadilan yang mutlak)
di samping kegagalan manusia dalam mencar keadilan. Pengertian hukum alam
berubah-ubah sesuai dengan perubahan pola pikir masyarakat dan keadaan politik
di zaman itu.[13]
2.2 Pandangan Filsafat Hukum Aliran Hukum Positif
Sebelum aliran ini lahir, telah berkembang suatu pemikiran
dalam ilmu hukum yang disebut dengan Legisme yang memandang tidak ada hukum di
luar undang-undang, dalam hal ini satu-satunya sumber hukum adalah
undang-undang.
1)
Analitis
Pemikiran ini berkembang di
Inggris namun sedikit ada perbedaan dari tempat asal kelahiran Legisme di
Jerman. Di Inggris, berkembang bentuk yang agak lain, yang dikenal dengan
ajaran Positivisme Hukum dari John Austin, yaitu Analytical Jurisprudence. Austin
membagi hukum atas 2 hal, yaitu:
a)
Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.
b)
Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang
terdiri dari:
-
hukum dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut
sebagai hukum positif yang terdiri dari hukum yang dibuat penguasa, seperti:
undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau
disusun rakyat secara individuil yang dipergunakan untuk melaksanakan
hak-haknya, contoh hak wali terhadap perwaliannya.
-
Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti
hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, contoh:
ketentuan-ketentuan dalam organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.[14]
Menurut Austin, dalam hukum yang nyata pada point pertama, di dalamnya
terkandung perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Sehingga ketentuan yang
tidak memenuhi keempat unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hukum.
2)
Murni
Ajaran hukum murni
dikatagorikan ke dalam aliran positivisme, karena pandangan-pandangannya tidak
jauh berbeda dengan ajaran Austin. Hans Kelsen seorang Neo Kantian, namun
pemikirannya sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan Rudolf Stammler.
Perbedaannya terletak pada penggunaan hukum alam. Stanmmler masih menerima dan
menganut berlakunya suatu hukum alam walaupun ajaran hukum alamnya dibatasi
oleh ruang dan waktu. Sedang Hans Kelsen secara tegas mengatakan tidak menganut
berlakunya suatu hukum alam, walaupun Kelsen mengemukakan adanya asas-asas
hukum umum sebagaimana tercermin dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.
Ajaran Kelsen juga dapat
dikatakan mewakili aliran positivisme kritis (aliran Wina). Ajaran tersebut dikenal
dengan nama Reine Rechtslehre atau ajaran hukum murni. Menurut ajaran
tersebut, hukum harus dibersihkan dari dan/atau tidak boleh dicampuri oleh
politik, etika, sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Ilmu (hukum) adalah susunan
formal tata urutan/hirarki norma-norma. Idealisme hukum ditolak sama sekali,
karena hal-hal ini oleh Kelsen dianggap tidak ilmiah. Adapun pokok-pokok ajaran
Kelsen adalah sebagai berikut:
a)
Tujuan teori ilmu hukum sama halnya dengan ilmu-ulmu
yang lain adalah meringkas dan merumuskan bahan-bahan yang serba kacau dan keserbanekaragaman
menjadi sesuatu yang serasi.
b)
Teori filsafat hukum adalah ilmu, bukan masalah apa
yang dikehendaki, masalah cipta, bukan karsa dan rasa.
c)
Hukum adalah ilmu normatif, bukan ilmu ke-alaman (natuurwetenschap) yang dikuasai oleh
hukum kausalitas.
d)
Teori/filsafat hukum adalah teori yang tidak bersangkut
paut dengan kegunaaan atau efektivitas norma-norma hukum.
e)
Teori hukum adalah formal, teori tentang ara atau
jalannya mengatur perubahan-perubahan dalam hukum secara khusus.
f)
Hubungan kedudukan antara tori hukum dengan sistem
hukum positif tertentu adalah hubungan antara hukum yang serba mungkin dan
hukum yang senyatanya.
Fungsi teori hukum ialah menjelaskan hubungan antara
norma-norma dasar dan norma-norma lebih rendah dari hukum, tetapi tidak
menentukan apakah norma dasar itu baik atau tidak. Yang disebut belakangan
adalah tugas ilmum politik, etiika atau agama.
Teori
konkretisasi hukum menganggap suatu sistem hukum sebagai atau susunan yang
piramidal. Stufentheorie diciptakan
pertama kali oleh Adolf Merkl (1836-1896), seorang murid dari Rudolf von
Jhering, yang kemudian diambil alih oleh Hans Kelsen. Kekuatan berlakunya hukum
tertentu tergantung pada norma hukum yang lebih tinggi, demikian seterusnya
hingga sampai pada suatu Grundnorm,
yang berfungsi sebagai dasar terakhir/tertinggi bagi berlakunya keseluruhan
hukum positif yang bersangkutan. Fungsi hukum tersebut bukan dalam arti hukum
kodrat, tetapi sebagai suatu Transcendental
Logische Voraussetzung, yaitu dalil yang secara transendental menentukan
bahwa norma dasar terakhir/tertinggi secara logis harus ada lebih dahulu, yang
sekaligus berfungsi sebagai penjelasan atau pembenaran ilmiah bahwa keseluruhan
norma-norma peraturan-peraturan dalam hukum positif yang bersangkutan itu pada
hakekatnya merupakan satu kesatuan yang serasi.
2.3 Pandangan Filsafat Hukum Aliran Sociological Jurisprudence
Aliran sociological
jurisprudence dapat dikatakan sebagai satu aliran dari berbagai pendekatan.
Aliran ini tumbuh dan berkembang di Amerika, dan dipelopori oleh Roscoe Pond,
Eugen Ehrlich, Benyamin Cardoo, Kantorowich, Gurvitch, dan lain-lain. Inti
aliran ini menganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat. Para pemikir dari sociological Jurisprudence menyerang formalisme dan legalisme.
Contoh kajian ini adalah kajian Pound. Pertama-tama ada postulasi yang sifatnya
normative. Lalu postulat normative tersebut dilihat dalam masyarakat. Jadi
pertama-tama berangkat dari hukumnya, normanya apa, dan itu selalu hukum
positif.[15]
sociological
Jurisprudence menganut paham
bahwa hanya hukum yang mampu menghadapi ujian akal dapat hidup terus. Yang
menjadi unsure-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal
yang berdiri di atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman
dikembangkan oleh akal dan akal diuji olehpengalaman. Tidak ada sesuatu yang
dapat bertahan sendiri dalam sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur
dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang
membuat undang-undang atau mengesahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dibantu oleh
kekuasaan masyarakat.
Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum harus dilihat
sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sosial. Selain itu, dianjurkan untuk mempelajari hukum
sebagai sutu proses yang dibedakannya dengan hukum yang tertulis.[16]
2.4 Pandangan Filsafat
Hukum Aliran pragmatic Legal Realism
Pengertian Realisme, secara etimologis berasal dari
bahasa Latin, res yang artinya benda atau sesuatu. Secara umum, realism ini
dapat diartikan sebagai upaya melihat segala sesuatu sebagaiman adanya tanpa
idealisasi, spekulasi, atau idolisasi. Ia berupaya untuk menerima fakta-fakta
apa adanya, betapa pun tidak menyenangkan.
Dengan demikian,
apabila dikaitkan dengan konteks hukum, realism (hukum) itu bermakna sebagai
pandangan yang (mencoba) melihat hukum sebagaimana adanya tanpa idealiasi dan
spekulasi atas hukum yang bekerja dan yang berlaku. Pandangan yang
(mengusahakan) menerima fakta-fakta apa adanya mengenai hukum.[17]
Beberapa
tokoh terkenal disebut-sebut sebagai pendasar aliran ini. Tokoh-tokoh tersebut
adalah John Chipman Gray, Oliver Wendell Holmes, Karl Liewellyn, Jerome Frank,
William James, dan lain-lain. Oleh Liewellyn dikemukakan ciri-ciri aliran ini,
yaitu:
1)
Realisme bukanlah suatu aliran/mazhab. Realisme adalah
suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
2)
Realisme adalah suatu konsep mengenai hukum yang
berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial; maka tiap bagiannya
harus diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan
sosial lebih cepat mengalami perubahan daripada hukum.
3)
Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara
antara sollen dan sein untuk keperluan suatu penyelidikan agar penyelidikan itu
mempunyai tujuan, maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai dan observasi
terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipenuhi oleh
kehendak observer maupun tujuan-tujuan kesusilaan.
4)
Realisme telah mendasarkan pada konsep-konsep hukum
tradisional oleh karena realisme bermaksud melukiskan apa yang sebenarnya oleh
pengadilan-pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan
definisi-definisi dalam peraturan-peraturan yang merupakan ramalan umum tentang
apa yang akan dikerjakan oelh pengadilan-pengadilan. Sesuai dengan keyakinan
ini, maka realisme menciptakan penggolongan-penggolongan perkara dan
keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada jumlah
penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau.
5)
Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap
bagian hukum haruslah diperhatikan dengan seksama mengenai akibatnya.[18]
Pendekatan yang harus dilakukan oleh gerakan realisme untuk
mewujudkan program tersebut di atas telah digariskan sebagai berikut:
1)
Keterampilan diperlukan bagi seseorang dalam memberikan
argumentasinya yang logis atas putusan-putusan yang telah diambilnya bukan
hanya sekedar argumen-argumen yang diajukan oleh ahli hukum yang nilainya tidak
berbobot.
2)
Mengadakan perbedaan antara peraturan-peraturan dengan
memperhatikan relativitas makna peraturan-peraturan tersebut.
3)
Menggantikan katagori-katagori hukum yang bersifat umum
dengan hubungan-hubungan khsusus dari keadaan-keadaan yang nyata.
4)
Cara pendekatan seperti tersebut di atas mencakup juga
penyelidikan tentang faktor-faktor/unsur-unsur yang bersifat perseornagan
maupun umum dengan penelitian atas kepribadian sang hakim dengan disertai
data-data statistik tentang ramalan-ramalan apa yang akan diperbuat oloeh
pengadilan dan lain-lain.[19]
Mengenai aliran Pragmatic Legal Realism yang berkembang pada
waktu itu dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1)
Aliran Realisme Hukum Amerika
Tokoh-tokohnya adalah Oliver Wendell Holmes dan Jerome Frank.
“The path of Law” berasal dari
Holmes, sedang “Law in the modern mind”
berasal dari Jerome Frank. Sifat normatif hukum agak dikesampingkan. Hukum pada
hakekatnya adalah berupa pola perilaku/tindakan (pattern of behaviour) nyata
dari hakim dan petugas/pejabat hukum (law
officials) lainnya. Pendorong utama perilaku Hakim atau pejabat-pejabat
hukum segarusnya berpijak pada moral positif dan kemaslahatan masyarakat (social advanrage). Bagi Frank, hukum
dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum yang senyatanya dan hukum yang mungkin (actual law and probable law).
Peraturan-peraturan hukum dan asas-asas hukum tidak lain adalah semacam stimuli
yang mempengaruhi perilaku hakim yang dapat dilihat dalam putusan-putusan
hakim, di samping faktor-faktor lain, yakni, prasangka politis, ekonomis, dan
moril, simpati maupun antipati pribadi (Frank). Terhadap sikap yang agak
ekstrim dari kedua tokoh tersebut, yakni Roscoe Pound dan benjamin Cardozo
dalam bukunya yang berjudul “The nature
of the juridical process” mengambil pendirian yang lebih moderat, yakni
wawasan sosiologis.
2)
Aliran Realisme Skandinavia
Di Skandinavia, para sarjana hukum modern mengembangkan cara
berfikir tentang hukum yang memiliki ciri khas ala Skandinavia yang tidak ada
persamaannya di negara-negara lain. Walaupun istilah realisme sering
dipergunakan untuk gerakan cara berfikir di Skandinavia akan tetapi persamaan
nama dengan gerakan cara berfikir di Amerika Serikat, hanyalah sebatas
persamaan nama saja. Realisme Skandinavia adalah dasar-dasar filsafat yang
memberikan kritik-kritik terhadap dasar-dasar metafisika hukum (Skandinavian realism is essentialy a
philosophical critique of the metaphysical foundations law). Gerakan ini
menolak cara pendekatan yang dipergunakan oleh kaum realis Amerika Serikat yang
mempunyai nilai rendah. Dalam caranya memberi kritik dan pengupasan
prinsip-prinsip pertama yang seringkali sangat abstrak, grakan realis mempunyai
ciri-ciri yang mirip sekali dengan ciri-ciri Filsafat Hukum Eropa. Adanya
persamaan cara pendekatan antara penganut-penganut gerakan relaisme Skandinavia
diusebabkan oleh pengaruh dari Axel Hagestrom terhadap tokoh-tokoh gerakan
realisme Skandinavia pada waktu itu, yaitu Oliverscrona, Lundstedt, sekalipun
pengaruh Axel tidak sebesar Ross.
Para ahli hukum tersebut di atas menolak adanya
pengertian-pengertian mutlak tentang keadilan yang menguasai dan yang memberi
pedoman pada sistem-sistem hukum positif. Mengenai nilai-nilai hukum gerakan
realisme Skandinaviamempunyai pendirian yang sama dengan filsafat relativisme;
mereka menolak pendirian yang mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hukum
dapat disalurkan secara memaksa dari prinsip-prinsip tentang keadilan yang
tidak adapat diubah.
Menurut Friedman, keberadaan realisme Skandinavia telah
memberikan sumbangan yang amat besar kepada teori hukum, yaitu tentang
penggunaan pengertian kehendak kolektif, satu kehendak umum atau kehendak
negara (a collective or general will or
of the state) oleh ilmu hukum analitis. Menurut Hargerstrom dan
kawan-kawan, pengertian-pengertian tersebut adalah semacam satu pengertian gaib
yang dipergunakan mereka untuk memberi dasar hukum pada kemahakuasaan
orang-orang yang memegang perintah negara; dan cara mereka membuktikan
legitimitas (dasar hukum) kekuasaan negara tersebut menurut Hargerstrom dan
kawan-kawan adalah pada dasarnya sama dengan cara-cara yang dipergunakan
filsafat hukum kodrat.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Hukum alam merupakan
ide tentang keadilan abadi yang diusahakan diwujudkan atau yang gagal
diwujudkan manusia dalam kehidupannya. Keadilan adalah seuatu yang tidak dapat
dibentuk, melainkan merupakan hasil dari cara kerja alam. Ia merupakan puncak
tertinggi dari hukum. Terbentuk dari penciptaan Tuhan dan rasio manusia.
Penerapannya melalui perintah oleh manusia, hanyalah merupakan wujud dari
kegagalan manusia untuk mewujudkannya dan karenanya harus ditebus dengan
penggunaan perintah. Sumbangan terbesar aliran ini terletak pada dasar-dasar
pemberlakuan hukum yang diberikannya terhadap sistem hukum. Menurut Cicero,
hukum merupakan ekspresi dari hakikat umum manusia dengan universalitas sebagai
cirinya. Masyarakat manusia merupakan masyarakat alam raya yang berkedudukan
sederajat satu sama lain dan kesederajatannya merupakan akibat langsung dari
hukum alam. Hukum alam mengatur seluruh hukum dan manusia dengan demikian hukum
alam menjelma dalam konstitusi dan hukum-hukum negara. Menurut aliran ini isi
hukum adalah keadilan dan moral. Pemikir irrasional seperti Thomas Aquinas
menganggap hukum bersumber pada tuhan, sedangkan para penganut hukum alam
rasional, seperti Grotius menganggap hukum bersumber pada rasio manusia.
2.
Menurut Aliran
Positivisme Hukum, berlakunya suatu tata hukum negara harus mendapatkan bentuk
positifnya dari suatu lembaga yang berwenang. Hukum harus dipandang semata-mata
sebagai bentuk formal yang tertulis, dan harus dipisahkan dari bentuk material
atau bentuk hukum lainnya. Hukum merupakan perintah penguasa. Hukum merupakan
perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berfikir dan perintah itu
diberikan oleh makhluk berfikir pula. Isi hukum adalah perintah. Kewajiban,
kedaulatan, dan sanksi. Di luar ciri itu suatu aturan hukum bukanlah hukum
melainkan moral belaka.
3.
Aliran Sociological Juriprudence yang memberi
perhatian sama beratnya antara hukum dan masyarakat, sebagai unsure utama dalam
penciptaan dan pemberlakuan hukum berpendapat bahwa hukum yang baik adalah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Fungsi utama
adalah melindungi kepentingan. Terdapat tiga kepentingan yang harus dilindungi
hukum, yaitu kepentingan hukum, kepentingan sosial, dan kepentingan pribadi.
Fungsi utama hukum adalah untuk mengembangkan kehidupan masyarakat.
4.
Aliran Pragmatic Legal Realism lebih
berorientasi kepada aplikasi hukum kedalam kehidupan bermasyarakat. Menurut
aliran ini, hukum bukanlah apa yang tertulis, melainkan apa yang dilakukan oleh
petugas-petugas hukum, pengadilan, jaksa, polisi, dan yang lain-lainnya.
Penentuan nasib penjahat yang diadili di dalam suatu lembaga keadilan, bukanlah
rumuan-rumusan sanksi di dalam undang-undang melainkan adalah perasaan
keyakinan hakim. Di luar itu berpengaruh pula unsur-unsur di luar hukum,
seperti faktor pribadi, politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Antonius Cahyadi dan Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Prenada
Media Group, Jakarta, 2007
B. Arief Sidharta, Butir-Butir
Pemikiran dalam Hukum, PT. Reflika Aditama, Bandung
B. Arief Sidharta, Meuwissen
Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum,
cet.kedua. PT. Reflika Aditama, Bandung, 2008
Bernard arie
Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu
Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008
Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, cet. 5,
PT Refika Aditama, Bandung, 2011
J.J.H. Bruggink, Refleksi
Tentang Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar
Filsafat Hukum, cet.kelima. cv.Mandar Maju, Bandung, 2010
Roscoe Pound, Pengantar
Filsafat Hukum, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1982
Satjipto Rahardjo,
Ilmu Hukum, cet.keenam, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006
Soetiksno, Filsafat
Hukum, Bagian I, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997
Zainuddin Ali, Filsafat
Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
[2] B. Arief
Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan
Hukum, Ilmu hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, cet.kedua. PT. Reflika
Aditama, Bandung, 2008, hlm.1
[4] Bernard
arie Sidharta, Refleksi Tentang Struktur
Ilmu Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 120
[6] Lili
Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar
Filsafat Hukum, cet.kelima. cv.Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm.52
[10] Emeritus
John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, Sejarah
Hukum Suatu Pengantar, cet. 5, PT Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm.111
[12] Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Op.cit.,
hlm.112
[15] Antonius
Cahyadi dan Fernando M. Manullang, Pengantar
ke Filsafat Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm.120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar