Halaman

AWALI AKTIFITAS MU DENGAN BACAAN BASMALAH

Rabu, 25 Juli 2012

LEGAL OPINION PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 79/PUU-IX/2011 TENTANG UJI MATERIIL PASAL 10 UU NO 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTRIAN NEGARA



Oleh: Bunga Permatasari

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Simposium  mengenai negara hukum Tahun 1966 di Jakarta, merumuskan sifat dan ciri-ciri khas suatu negara hukum. Sifat negara hukum itu ialah bahwa alat kelengkapannya hanya dapat bertindak menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang telah ditentukan lebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan aturan itu atau singkatnya disebut prinsip rule of law.
Ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum menurut simposium tersebut adalah:
1.      Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
2.      Peradilan yang bebas dan tidak memihak, serta tidak dipengaruhi oleh kekuasaan atau kekuatan apapun juga.
3.      Legalitas, dalam arti dalam semua bentuknya.[1]

Indonesia sebagai sebuah negara hukum, secara konstitusional diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum. Landasan konstitusi ini menjadi prinsip dasar penyelenggaraan negara, sehingga tetap berkomitmen pada persoalan-persoalan urgen kenegaraan. Ranah sistem hukum di Indonesia memasuki era baru sejak dicetuskannya ide pembentukan dan pendirian lembaga Mahkamah Konstitusi yang kemudian diakomodir oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat kedalam amandemen Undang-undang Dasar 1945. Angin perubahan tersebut dilandasi oleh keinginan kuat seluruh komponen bangsa Indonesia yang mencita-citakan tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita-cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Pasal 24 ayat (2) Perubahan (amandemen) Ketiga Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Kelembagaan Mahkamah Konstitusi yang pengukuhannya dituangkan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 98) dan disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003 tersebut memiliki atau mengemban misi sebagai sebuah lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan pula untuk menjaga penyelenggaraan pemerintahan negara agar stabil dan melakukan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang banyak menimbulkan multi tafsir atas suatu produk peraturan perundang-undangan.
Eksistensi Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan dalam beberapa Pasal UUD 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 24  ayat (2) dinyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Adapun kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dinyatakan:
(Pasal 24C ayat (1)) Mahkamah  Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (Pasal 24 C ayat (2)) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Haruslah diakui bahwa kehadiran Mahkamah Konstitusi telah banyak memberi sumbangan bagi penyehatan sistem ketatanegaraan dan hukum kita. Diantaranya yang perlu diberi catatan khusus tentang kemajuan ketatanegaraan adalah performance, eksistensi dan prestasi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif baru. Pada masa lalu banyak sekali undang-undang yang dibuat secara sepihak oleh pemerintah (dan DPR hanya dijadikan semacam rubber stamp) tanpa bisa dibatalkan meski isinya diindikasikan kuat melanggar UUD. Perubahan atas undang-undang yang bermasalah pada masa lalu hanyalah dapat dilakukan melalui legislative review yang dalam praktiknya sangat ditentukan oleh pemerintah.[2]
Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, semua undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UUD dapat diminta judicial review untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 atau inkostitusional sehingga tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menurut hemat penulis, dapat dikemukakan bahwa Mahkamah Konstitusi telah tampil sebagai lembaga negara yang independen dan cukup produktif mengeluarkan putusan-putusan yang sangat mendukung bagi kehidupan ketatanegaraan yang demokratis.
Mahkamah Konstitusi telah banyak mengeluarkan keputusan mengenai wewenangnya terhadap pengujian UU terhadap UUD 1945. Salah satunya adalah putusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011 Tentang Uji Materil Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara yang diajukan oleh Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK). Atas gugatan yudisial Review yang diajukan oleh GN-PK pada tanggal 25 Oktober 2011 telah dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi, terutama tentang penjelasan Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008. Mahkamah Konstitusi menegaskan keberadaan wakil menteri yang diatur dalam Pasal 10 UU Kementerian Negara tidak bertentangan dengan UUD 1945. Yang dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara bahwa: “yang dimaksud dengan wakil menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet”. Mahkamah Konstitusi juga meminta agar Keppres pengangkatan wakil menteri butuh penyesuaian agar jabatan wakil menteri tidak dipersoalkan legalitasnya.
Mengenai putusan Mahkamah Konstitusi ini tentulah terdapat banyak kontroversi, Putusan Mahkamah Konstitusi tentang penjelasan Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008 ini, bagi sebagian orang beranggapan bahwa wakil menteri yang telah diangkat oleh presiden harus segera diberhentikan, dan sebagiannya lagi berpendapat bahwa posisi wakil menteri tidak perlu diganti, tapi perlu yang diganti adalah Perpres tentang pengangkatan wakil menteri tersebut. Perbedaan penafsiran hukum tentang keputusan Mahkamah Konstitusi ini adalah hal wajar sebagai negara hukum yang berdaulat.
Tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 79/PUU-IX/2011 tanggal 5 Juni 2012 terkait pengujian UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara) terhadap UUD 1945, sudah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) baru. Keppres tersebut memutuskan bahwa semua wakil menteri tetap dipertahankan di posisi masing-masing, kecuali Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partiwidagdo yang meninggal dunia. Kendati begitu, legalitas wakil menteri masih saja mengundang perdebatan.
Berdasarkan hal inilah penulis bermaksud membuat sebuah tulisan Ilmiah yang berjudul Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 Tentang Uji Materiil Pasal 10 UU NO 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.


1.2. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas dikemukakan identifikasi masalah sebagai sub isu hukum sebagai berikut:
1.2.1    Bagaimanakah legal opinion pro terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 tentang Uji Materiil Pasal 10 UU NO 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.
1.2.2    Bagaimanakah bentuk legal opinion kontra terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 tentang Uji Materiil Pasal 10 UU NO 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.




II. PEMBAHASAN
2.1 Legal Opinion Pro Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 Tentang Uji Materiil Pasal 10 UU NO 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara
Legal Reasoning memiliki posisi sentral yang sangat penting bagi hakim dalam menafsirkan hukum. Bahkan, legal reasoning merupakan roh dari setiap upaya penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim hingga menghasilkan suatu putusan. Dengan kata lain, legal reasoning memiliki peran sangat penting dalam memandu hakim untuk menentukan makna efektif dari hukum in casu konstitusi.
Menurut B.Arif Sidharta, legal reasoning atau penalaran hukum adalah kegiatan berpikir problematis dari subjek hukum (manusia) sebagai makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Sekalipun demikian, penalaran hukum tidak mencari penyelesaian ke ruang-ruang yang terbuka tanpa batas. Ada tuntutan bagi penalaran hukum untuk juga menjamin stabilitas dan prediktabilitas putusannya dengan mengacu kepada sistem hukum positif. Demi kepastian hukum, argumentasi yang dilakukan harus mengikuti asas penataan ini, sehingga putusan-putusan itu (misalnya antara hakim yang satu dengan hakim yang lain dalam mengadili kasus serupa) relatif terjaga konsistensinya (asas similia similibus). Berdasarkan pandangan ini, dengan mengutip Ter Heide, B.Arief Sidharta menyebut tipe argumentasi dalam penalaran hukum sebagai “berpikir problematikal tersistematisasi[3]
Mengacu pada pemikiran filsafat praktis dari Aristoteles, Brett G Scharffs mengemukakan bahwa legal reasoning yang baik itu tersusu dari tiga gagasan atau konsep, yaitu : pertama, practical wisdom atau phronesis, kedua, craft atau techne atau keterampilan, dan ketiga, rhetorica Legal reasoning yang baik menurut Scharffs adalah hasil kombinasi antara practical wisdom, craft dan rhetoric. Hakim yang baik adalah hakim yang dapat mengkombinasikan skill atau karakter practical wisdom (kearifan dalam berpraktik hukum), keterampilan dan retorika. Masing-masing dari ketiga konsep tersebut merupakan komponen esensial dari suatu legal reasoning yang baik. Ketiganya memiliki signifikansi dan arti penting yang setara.
Posisi kasus dari perkara NOMOR 79/PUU-IX/2011 adalah mengenai permohonan Pengujian Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap Pasal 17 dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. isu hukum yang harus dianalisis dalam perkara ini mencakup 3 (tiga) Isu hukum, yaitu :
1) Kewenangan Mahkamah Konstitusi (untuk selanjutnya disingkat Mahkamah) untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan a quo;
2) Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk permohonan pengujian pasal-pasal a quo; dan
3) Dalam pokok perkara, konstitusional tidaknya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji.
Terhadap ketiga isu hukum a quo, rules sebagai batu uji (touch stone-nya) adalah Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan  ayat (4) UUD 1945. Batu uji a quo dipergunakan sebagai pisau analisis untuk membedah atau menganalisis ketiga isu hukum yang ada, yaitu denga mempergunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dengan menganalisis pasal-pasal UUD 1945.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Berdasarkan ketentuan pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Juncto pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, “Menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Bahwa yang dimohonkan oleh Pemohon adalah pengujian Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara sehingga permohonan tersebut masih dalam ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Mengenai Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon
Berdasarkan
Pasal 51 ayat (1) UU MK adalah pihak yang menganggap adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu;
a) perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
b)    kesatuan masyarakata hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c)    badan hukum publik atau privat; atau
d)    lembaga negara;

Yurisprudensi Mahkamah telah menjabarkan tentang kerugian hak konstitusional yang harus memenuhi 5 (lima) syarat adanya hak dan/ atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945:
a)  hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang;
b) kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
c) adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
d) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
e)  apabila permohonan tersebut dikabulkan, diperkirakan kerugian hak konstitusional tersebut tidak akan terjadi.

Apabila kedua ketentuan tersebut diterapkan pada diri Pemohon, maka:
a) Pemohon tersebut termasuk pemohon perorangan warga negara Indonesia
b) Pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, yaitu Pasal 28D ayat (1), Pasa 28G ayat (2), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Sepanjang yang berkaitan dengan kerugian hak konstitusional Pemohon, saya berpendapat bahwa penilaian atas kerugian a quo barulah dapat dinilai setelah mencermati alasan-alasan hukum Pemohon, keterangan saksi Pemohon dan bukti surat yang diajukan Pemohon akan dipertimbangkan dan dinilai bersama-sama dengan pokok perkara.
Mengenai dalil-dalil pemohon bahwa pemohon mendalilkan mengenai adanya pertentangan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dengan Pasal 17 dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945  dengan mengemukakan argumentasi hukum sebagai berikut:
1.           Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008
        “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu”.
        Berarti Presiden harus dan wajib menjelaskan kepada publik penanganan secara khusus apa yang membutuhkan pengangkatan Wakil Menteri, di samping hal tersebut di atas dalam Pasal 10 ini ada penekanan pada kata "secara khusus", yang atinya tidak umum dan atau selektif tapi faktanya Presiden mengangkat 20 wakil menteri dari 34 kementerian yang ada, atau dengan kata lain pengangkatan wakil menteri bukan hanya untuk kementerian tertentu, karena faktanya pengangkatan wakil menteri lebih dari setengah Kementerian yang ada, sehingga timbul pertanyaan, apakah dapat dikatakan fakta (pengangkatan 20 wakil menteri) yang dilakukan oleh Presiden masih memenuhi bunyi Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara? Jawabnya: tidak, maka dengan demikian pengangkatan 20 wakil menteri oleh Presiden tersebut terbukti tidak memiliki dasar hukum baik Undang-Undang maupun UUD 1945.
2.           Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008
        “Yang dimaksud dengan "Wakil Menteri" adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet.”
        Sehingga hal ini menutup hak-hak konstitusional dari anggota-anggota/Kader-kader Pemohon untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam penyelenggaraan negara khususnya untuk menjadi Wakil Menteri, di mana hak Konstitusional Pemohon dalam hal ini kader-kader Pemohon dijamin dalam Konstitusi yaitu dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945; “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan juncto Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya .  
3.      Potensi Kerugian Konstitusional Lainnya
Dengan diangkatnya 20 wakil menteri juga berpotensi pemborosan uang negara, karena dengan diangkatnya 20 wakil menteri pasti akan mendapatkan fasilitas-fasilitas khusus dari negara yang dananya bersumber dari APBN. Menurut pemohon kerugian bisa mencapai 1.848.198.800.000,- yang dibebankan dari pajak. Sementara pemohon dalam hal ini juga salah satu wajib pajak.
Bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam permohonan a quo adalah:
1.  Pengujian Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap Pasal 17 dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945;
2.  Menyatakan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tidak diatur di dalam UUD 1945;
3.  Menyatakan pembentukan wakil menteri yang bersandar pada pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 51 Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara yang seharusnya  tersusun
a. pemimpin, yaitu Menteri;
b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat kementerian;
c. pelaksana, yaitu deputi kementerian; dan
d. pengawas, yaitu inspektorat kementerian;
4.  Presiden seharusnya memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini Pasal 17 UUD 1945 mengenai Kementerian Negara;
5. Menyatakan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara beserta Penjelasannya juga bertentangan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945;
6.  Mempertimbangkan pengangkatan wakil menteri ini juga akan melahirkan konflik kepentingan di organisasi kementerian, yakni antara menteri dengan wakil menteri dan mengakibatkan pelayanan publik akan semakin lambat;
7. Mempertimbangkan bahwa jabatan wakil menteri dapat diindikasikan sebagai politisasi pegawai negeri sipil, dengan modus operandi membagi-bagi jabatan wakil menteri dalam kalangan dan lingkungan presiden (kroni-kroni Presiden).[4]
8.  Karena Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara bertentangan dengan Pasal 17 dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Maka patut pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Terhadap hal tersebut, penulis sependapat dengan Mahkamah Konstitusi bahwa persoalan legalitas yang muncul dalam pengangkatan wakil menteri antara lain adalah:
Pertama, terjadi eksesifitas dalam pengangkatan wakil menteri sehingga tampak tidak sejalan dengan dengan latar belakang dan filosofi pembentukan Undang-Undang tentang Kementerian Negara. Dalam bahasa teknis judicial review eksesifitas yang seperti itu sering disebut tidak sejalan dengan maksud semula pembentukan Undang-Undang dimaksud (original intent). Salah satu latar belakang terpenting dari keharusan konstitusional untuk membentuk Undang-Undang Kementerian Negara sebagaimana diatur di dalam Pasal 17 ayat (4) UUD 1945 dimaksudkan untuk membatasi agar dalam membentuk kementerian negara guna melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, Presiden melakukannya secara efektif dan efisien. Kedua, saat mengangkat wakil menteri Presiden tidak menentukan beban kerja secara spesifik bagi setiap wakil menteri sehingga tak terhindarkan memberi kesan kuat sebagai langkah yang lebih politis daripada mengangkat pegawai negeri sipil (PNS) secara profesional dalam jabatan negeri. Apalagi seleksi jabatan wakil menteri dilakukan secara sama dengan pengangkatan menteri yakni didahului dengan fit and proper test di tempat dan dengan cara yang sama dengan seleksi dan pengangkatan menteri. Hal tersebut menjadi sangat politis dan tidak sesuai dengan hukum kepegawaian yang sudah lama berlaku terutama jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang a quo.
Ketiga, menurut Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang a quo jabatan wakil menteri adalah jabatan karier dari PNS tetapi dalam pengangkatannya tidaklah jelas apakah jabatan tersebut merupakan jabatan struktural ataukah jabatan fungsional. Seperti dinyatakan oleh pimpinan BKN di persidangan tanggal 7 Februari 2012 jabatan karier bagi PNS itu ada dua yakni jabatan struktural dan jabatan fungsional. Persoalannya, jika dianggap sebagai jabatan struktural maka yang bersangkutan haruslah menduduki jabatan Eselon IA yang berarti, sesuai dengan hukum kepegawaian, pembinaan kepegawaiannya di bawah pembinaan Sekretaris Jenderal. Akan tetapi jika jabatan wakil menteri tersebut diperlakukan sebagai jabatan fungsional masalahnya menjadi aneh, sebab jabatan fungsional itu bersifat tertentu terhadap satu bidang dan bukan jenis profesi dan keahlian yang berbeda-beda yang kemudian dijadikan satu paket sebagai jabatan fungsional. Adalah tidak masuk akal kalau jabatan wakil menteri yang sangat beragam bidang tugas, keahlian, dan unit kerjanya dianggap sebagai satu kelompok jabatan fungsional. Lagipula jabatan fungsional harus ditentukan lebih dahulu di dalam peraturan perundang-undangan dengan mengklasifikasi masing-masing jabatan fungsional ke dalam jenis tertentu. Para wakil menteri yang berasal dari perguruan tinggi misalnya, semuanya sudah mempunyai jabatan fungsional akademik. Pertanyaannya, kalau jabatan wakil menteri dianggap sebagai jabatan karier fungsional maka bisakah seorang PNS memiliki dua jabatan fungsional sekaligus berdasar peraturan perundang-undangan?
Keempat, masih terkait dengan jabatan karier, jika seorang wakil menteri akan diangkat dalam jabatan karier dengan jabatan struktural (Eselon IA) maka pengangkatannya haruslah melalui seleksi, dan penilaian oleh Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai oleh Wakil Presiden atas usulan masing-masing instansi yang bersangkutan. Tim Penilai Akhir tersebut kemudian mengusulkan pengangkatannya kepada Presiden dalam bentuk penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) untuk kemudian dilantik oleh Menteri/Jaksa Agung/Kapolri dan pejabat yang setingkat sesuai dengan penempatan yang bersangkutan. Menurut fakta di persidangan, para wakil menteri diangkat tanpa melalui prosedur tersebut dan pelantikannya dilakukan oleh Presiden sendiri di istana negara sehingga prosedurnya menggunakan prosedur yang berlaku bagi menteri, bukan prosedur yang berlaku bagi PNS yang menduduki jabatan karier.
Keenam, komplikasi legalitas dalam pengangkatan wakil menteri seperti yang berlaku sekarang ini, muncul juga terkait dengan berakhirnya masa jabatan. Jika wakil menteri diangkat sebagai pejabat politik yang membantu menteri maka masa jabatannya berakhir bersama dengan periode jabatan Presiden yang mengangkatnya. Akan tetapi, jika wakil menteri diangkat sebagai pejabat birokrasi dalam jabatan karier maka jabatan itu melekat terus sampai dengan tiba masa pensiunnya atau berakhir masa tugasnya berdasarkan ketentuan yang berlaku untuk jabatan karier sehingga tidak serta merta berakhir bersama dengan jabatan Presiden yang mengangkatnya. Pertanyaannya, kapan berakhirnya masa jabatan wakil menteri berdasarkan fakta hukum yang ada sekarang ini? Apakah bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan menteri yang dibantunya dan dalam periode Presiden yang mengangkatnya ataukah dapat berakhir sebelum atau sesudah itu? Di sinilah letak komplikasi legalitas tersebut.
Berdasarkan hal inilah penulis sependapat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2.2 Legal Opinion Kontra Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 Tentang Uji Materiil Pasal 10 UU NO 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.
Ditilik dari kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga Negara atau pejabat Negara dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka kewenangan lembaga Negara atau pejabat Negara tersebut dapat berbentuk kewenangan atributif dan kewenangan delegatif/derivatif. Kewenangan atributif adalah kewenangan asli (orisinil) yang diberikan oleh Undang-undang Dasar 1945 atau Undang-undang tertentu kepada lembaga Negara atau pejabat Negara tertentu, sedangkan kewenangan delegatif/derivatif adalah kewenangan yang diberikan oleh pemegang kewenangan atributif kepada lembaga Negara atau pejabat Negara tertentu dibawahnya, untuk mengeluarkan suatu pengaturan lebih lanjut atas sesuatu peraturan perundang-undang yang dibuat oleh pemegang kewenangan atributif. Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat dan Lembaga Presiden memiliki kewenangan atributif sebagai pembentuk Undang-undang, karena kewenangan tersebut diperoleh berdasarkan kekuatan Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 20 Undang-undang Dasar 1945. Demikian halnya pula lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan lembaga Kepala Daerah memiliki kewenangan atributif untuk membuat atau membentuk Peraturan Daerah (Perda).
Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah untuk bertindak bersumber pada tiga hal yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi ialah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali. Atribusi merupakan cara normal untuk memperoleh wewenang. Menurut Indroharto, legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang itu dibedakan antara :
1.        Yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembantuk konstitusi (konstituante) dan DPR bersama-sama Pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang melahirkan Peraturan Daerah;
2.        Yang bertindak sebagai delegated legislator : seperti Presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara tertentu.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Berdasarkan ketentuan pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Juncto pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, “Menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Putusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011 Tentang Uji Materil Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara yang diajukan oleh Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK). Atas gugatan yudisial Review yang diajukan oleh GN-PK pada tanggal 25 Oktober 2011 telah dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi, terutama tentang penjelasan Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, penulis tidak sependapat. Alasan Mahkamah Konstitusi menyatakan inkostitusional Penjelasan Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008 adalah mengenai orang yang dapat diangkat sebagai wakil menteri menurut Mahkamah, dapat berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia, bahkan warga negara biasa. Apabila wakil menteri ditetapkan sebagai pejabat karir, sudah tidak ada posisinya dalam susunan organisasi kementerian, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil.
  Menurut penulis, dasar hukum dalam memutuskan perkara tersebut kurang tepat. karena seyogyanya dalam hal memberikan putusan terhadap uji materiil undang-undang, MK hanya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak, tanpa adanya ketentuan lain untuk memberikan tafsir atau aturan baru terhadap materi ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang di uji materiilkan. Sedangkan dalam perkara ini MK seolah melakukan putusan seolah memaksa, karena alasan yang digunakan bukanlah berdasarkan landasan yuridis, tetapi landasan sosiologis, hal ini terlihat dalam alasan pertimbangan hukum MK yang menyatakan mengenai orang yang dapat diangkat sebagai wakil menteri menurut Mahkamah, dapat berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia, bahkan warga negara biasa. Apabila wakil menteri ditetapkan sebagai pejabat karir, sudah tidak ada posisinya dalam susunan organisasi kementerian, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Selain itu, menurut penulis baik diatur atau tidak dalam UUD 1945, pengangkatan wakil menteri merupakan bagian dari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas-tugasnya dan ini merupakan kewenangan atributif yang dimiliki presiden. Apabila menteri dapat diangkat oleh Presiden, logikanya, presiden pun tentu dapat mengangkat wakil menteri. Dari sudut substansi, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam konteks ini. UUD 1945 hanya mengatur hal-hal yang pokok sehingga untuk pelaksanaan lebih lanjut diatur dengan Undang-Undang. Tidak adanya perintah maupun larangan di dalam UUD 1945 memberi arti berlakunya asas umum di dalam hukum bahwa “sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dilarang itu boleh dilakukan” dan dimasukkan di dalam Undang-Undang sepanjang tidak berpotensi melanggar hak-hak konstitusional atau ketentuan-ketentuan lain di dalam UUD 1945.
Selanjutnya, jika menganalogikan pengangkatan wakil menteri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). UUD 1945 tidak menentukan adanya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lebih dikenal dengan sebutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun dengan TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) dibentuklah KPK, untuk menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi tertentu. Padahal di dalam tata pemerintahan kita sudah ada kepolisian sebagai penyidik dan kejaksaan sebagai penuntut umum perkara pidana. Meskipun suatu lembaga negara tidak secara tegas dicantumkan dalam UUD 1945, hal tersebut dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.


III.PENUTUP
Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini adalah:
1.      Penulis sependapat dengan putusan MK karena menurut Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang a quo jabatan wakil menteri adalah jabatan karier dari PNS tetapi dalam pengangkatannya tidaklah jelas apakah jabatan tersebut merupakan jabatan struktural ataukah jabatan fungsional.
2.      Penulis tidak sependapat dengan putusan MK karena dalam hal memberikan putusan terhadap uji materiil undang-undang, MK hanya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak, tanpa adanya ketentuan lain untuk memberikan tafsir atau aturan baru terhadap materi ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang di uji materiilkan. Dan pengangkatan wakil menteri merupakan kewenangan atributif presiden yang diberikan UUD 1945.




















DAFTAR PUSTAKA

B.Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2000

Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, P.T Alumni Bandung, Bandung, 2008

Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010



[1] Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, P.T Alumni Bandung, Bandung, 2008, hlm.165
[2] Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.274
[3] B.Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm 164.
[4] Lihat revisi Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara pada tanggal 13 Oktober 2011 menjadi Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011, dengan tujuan agar orang dekat dengan Presiden yang tidak memenuhi persyaratan dapat diangkat menjadi wakil menteri;

Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2009/02/membuat-read-moreselengkapnyabaca.html#ixzz1zecWfyfP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar