Oleh: Bunga
Permatasari
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Simposium mengenai negara hukum Tahun 1966 di Jakarta,
merumuskan sifat dan ciri-ciri khas suatu negara hukum. Sifat negara hukum itu
ialah bahwa alat kelengkapannya hanya dapat bertindak menurut dan terikat
kepada aturan-aturan yang telah ditentukan lebih dahulu oleh alat-alat
perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan aturan itu atau singkatnya
disebut prinsip rule of law.
Ciri-ciri
khas bagi suatu negara hukum menurut simposium tersebut adalah:
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, serta tidak dipengaruhi oleh
kekuasaan atau kekuatan apapun juga.
3. Legalitas, dalam arti dalam semua bentuknya.[1]
Indonesia
sebagai sebuah negara hukum, secara konstitusional diatur dalam Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum. Landasan konstitusi ini
menjadi prinsip dasar penyelenggaraan negara, sehingga tetap berkomitmen pada
persoalan-persoalan urgen kenegaraan. Ranah sistem hukum di Indonesia memasuki era baru sejak
dicetuskannya ide pembentukan dan pendirian lembaga Mahkamah Konstitusi yang
kemudian diakomodir oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat kedalam amandemen
Undang-undang Dasar 1945. Angin perubahan tersebut dilandasi oleh keinginan
kuat seluruh komponen bangsa Indonesia yang mencita-citakan tegaknya konstitusi
dalam rangka mewujudkan cita-cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Pasal 24 ayat (2) Perubahan (amandemen)
Ketiga Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
Kelembagaan Mahkamah Konstitusi yang pengukuhannya
dituangkan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 98)
dan disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003 tersebut memiliki atau mengemban misi
sebagai sebuah lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di
bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan pula untuk menjaga penyelenggaraan
pemerintahan negara agar stabil dan melakukan koreksi terhadap pengalaman
kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang banyak menimbulkan multi tafsir atas
suatu produk peraturan perundang-undangan.
Eksistensi Mahkamah Konstitusi dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan dalam beberapa Pasal UUD
1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa “kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Adapun kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi tercantum dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dinyatakan:
(Pasal 24C ayat (1))
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. (Pasal 24 C ayat (2)) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat Dewan perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Haruslah diakui bahwa kehadiran Mahkamah Konstitusi
telah banyak memberi sumbangan bagi penyehatan sistem ketatanegaraan dan hukum
kita. Diantaranya yang perlu diberi catatan khusus tentang kemajuan
ketatanegaraan adalah performance,
eksistensi dan prestasi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif baru.
Pada masa lalu banyak sekali undang-undang yang dibuat secara sepihak oleh
pemerintah (dan DPR hanya dijadikan semacam rubber
stamp) tanpa bisa dibatalkan meski isinya diindikasikan kuat melanggar UUD.
Perubahan atas undang-undang yang bermasalah pada masa lalu hanyalah dapat
dilakukan melalui legislative review
yang dalam praktiknya sangat ditentukan oleh pemerintah.[2]
Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, semua undang-undang
yang dinilai bertentangan dengan UUD dapat diminta judicial review untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 atau
inkostitusional sehingga tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menurut hemat
penulis, dapat dikemukakan bahwa Mahkamah Konstitusi telah tampil sebagai
lembaga negara yang independen dan cukup produktif mengeluarkan putusan-putusan
yang sangat mendukung bagi kehidupan ketatanegaraan yang demokratis.
Mahkamah Konstitusi telah banyak
mengeluarkan keputusan mengenai wewenangnya terhadap pengujian UU terhadap UUD
1945. Salah satunya adalah putusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011 Tentang Uji Materil
Pasal 10 UU
No 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara yang diajukan oleh Gerakan Nasional
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK). Atas gugatan yudisial Review yang
diajukan oleh GN-PK pada tanggal 25 Oktober 2011 telah dikabulkan sebagian oleh
Mahkamah Konstitusi, terutama tentang penjelasan Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008. Mahkamah Konstitusi menegaskan keberadaan wakil menteri yang diatur dalam Pasal 10 UU
Kementerian Negara tidak bertentangan dengan UUD 1945. Yang dinyatakan
inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah Penjelasan
Pasal 10 UU Kementerian Negara bahwa: “yang dimaksud dengan wakil menteri adalah
pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet”. Mahkamah Konstitusi juga meminta agar Keppres
pengangkatan wakil menteri butuh penyesuaian agar jabatan wakil menteri tidak dipersoalkan legalitasnya.
Mengenai putusan Mahkamah Konstitusi ini tentulah terdapat banyak
kontroversi, Putusan Mahkamah Konstitusi tentang penjelasan Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008 ini, bagi sebagian
orang beranggapan bahwa wakil menteri yang telah diangkat oleh presiden
harus segera diberhentikan, dan sebagiannya lagi berpendapat bahwa posisi wakil
menteri tidak perlu diganti, tapi perlu
yang diganti adalah Perpres tentang pengangkatan wakil menteri tersebut.
Perbedaan penafsiran hukum tentang keputusan Mahkamah Konstitusi ini adalah hal wajar sebagai negara
hukum yang berdaulat.
Tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) Nomor: 79/PUU-IX/2011 tanggal 5 Juni 2012 terkait pengujian UU Nomor 39
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara) terhadap UUD
1945, sudah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan
mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) baru. Keppres tersebut memutuskan bahwa
semua wakil menteri tetap dipertahankan di posisi masing-masing, kecuali Wakil
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partiwidagdo yang meninggal
dunia. Kendati begitu, legalitas wakil menteri masih saja mengundang perdebatan.
Berdasarkan
hal inilah penulis bermaksud membuat sebuah tulisan Ilmiah yang berjudul Analisis
Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 Tentang Uji Materiil Pasal 10 UU NO 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.
1.2. Rumusan
Masalah.
Berdasarkan
latar belakang masalah tersebut di atas dikemukakan identifikasi masalah
sebagai sub isu hukum sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah legal opinion pro terhadap
putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 tentang Uji Materiil Pasal 10 UU NO 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.
1.2.2 Bagaimanakah bentuk legal opinion kontra terhadap
putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 tentang Uji Materiil Pasal 10 UU NO 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.
II.
PEMBAHASAN
2.1 Legal Opinion Pro
Terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 Tentang
Uji Materiil Pasal 10 UU NO 39 Tahun 2008 Tentang
Kementerian Negara
Legal Reasoning memiliki posisi sentral yang sangat
penting bagi hakim dalam menafsirkan hukum. Bahkan, legal reasoning merupakan
roh dari setiap upaya penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim hingga
menghasilkan suatu putusan. Dengan kata lain, legal reasoning memiliki
peran sangat penting dalam memandu hakim untuk menentukan makna efektif dari
hukum in casu konstitusi.
Menurut B.Arif Sidharta, legal reasoning atau penalaran hukum
adalah kegiatan berpikir problematis dari subjek hukum (manusia) sebagai
makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Sekalipun
demikian, penalaran hukum tidak mencari penyelesaian ke ruang-ruang yang
terbuka tanpa batas. Ada tuntutan bagi penalaran hukum untuk juga menjamin
stabilitas dan prediktabilitas putusannya dengan mengacu kepada sistem hukum
positif. Demi kepastian hukum, argumentasi yang dilakukan harus mengikuti asas
penataan ini, sehingga putusan-putusan itu (misalnya antara hakim yang satu
dengan hakim yang lain dalam mengadili kasus serupa) relatif terjaga
konsistensinya (asas similia similibus). Berdasarkan pandangan ini, dengan
mengutip Ter Heide, B.Arief Sidharta menyebut tipe argumentasi dalam penalaran
hukum sebagai “berpikir problematikal tersistematisasi[3]
Mengacu pada pemikiran filsafat praktis dari Aristoteles,
Brett G Scharffs mengemukakan bahwa legal reasoning yang baik itu
tersusu dari tiga gagasan atau konsep, yaitu : pertama, practical wisdom atau phronesis,
kedua, craft
atau techne atau keterampilan, dan ketiga, rhetorica.
Legal reasoning yang baik menurut Scharffs adalah hasil kombinasi
antara practical wisdom, craft dan rhetoric. Hakim yang baik
adalah hakim yang dapat mengkombinasikan skill atau karakter practical wisdom
(kearifan dalam berpraktik hukum), keterampilan dan retorika. Masing-masing
dari ketiga konsep tersebut merupakan komponen esensial dari suatu legal
reasoning yang baik. Ketiganya memiliki signifikansi dan arti penting yang
setara.
Posisi
kasus dari perkara NOMOR
79/PUU-IX/2011 adalah mengenai permohonan Pengujian
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap
Pasal 17 dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
isu
hukum yang harus dianalisis dalam perkara ini mencakup 3 (tiga) Isu hukum, yaitu :
1) Kewenangan Mahkamah
Konstitusi (untuk selanjutnya disingkat Mahkamah) untuk memeriksa, mengadili
dan memutus permohonan a quo;
2) Kedudukan hukum
(legal standing) Pemohon untuk permohonan pengujian pasal-pasal a quo; dan
3) Dalam pokok perkara,
konstitusional tidaknya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji.
Terhadap ketiga
isu hukum a quo, rules sebagai
batu uji (touch stone-nya) adalah Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. Batu uji a quo dipergunakan sebagai
pisau analisis untuk membedah atau menganalisis ketiga isu hukum yang ada,
yaitu denga mempergunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute
approach) dengan menganalisis pasal-pasal UUD 1945.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Berdasarkan ketentuan
pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain, “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-undang Dasar. Juncto pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, “Menguji undang-undang terhadap Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Bahwa yang dimohonkan
oleh Pemohon adalah pengujian Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008
tentang Kementerian Negara sehingga permohonan tersebut masih dalam ruang
lingkup kewenangan Mahkamah
Konstitusi.
Mengenai Kedudukan Hukum (legal
standing) Pemohon
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK adalah pihak yang menganggap adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu;
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK adalah pihak yang menganggap adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu;
a) perorangan warga negara Indonesia
(termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
b) kesatuan masyarakata hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c) badan hukum publik atau privat; atau
d) lembaga negara;
Yurisprudensi Mahkamah
telah menjabarkan tentang kerugian hak konstitusional yang harus memenuhi 5
(lima) syarat adanya hak dan/ atau kewenangan konstitusional pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945:
a) hak dan/atau kewenangan konstitusional
tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang;
b) kerugian konstitusional tersebut
harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
c) adanya hubungan sebab akibat (causal
verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
d) adanya kemungkinan bahwa dengan
dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan
tidak akan atau tidak lagi terjadi;
e) apabila permohonan tersebut dikabulkan,
diperkirakan kerugian hak konstitusional tersebut tidak akan terjadi.
Apabila
kedua ketentuan tersebut diterapkan pada diri Pemohon, maka:
a) Pemohon tersebut
termasuk pemohon perorangan warga negara Indonesia
b) Pemohon memiliki hak
konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, yaitu Pasal 28D ayat (1), Pasa 28G
ayat (2), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Sepanjang
yang berkaitan dengan kerugian hak konstitusional Pemohon, saya berpendapat
bahwa penilaian atas kerugian a quo barulah dapat dinilai setelah mencermati
alasan-alasan hukum Pemohon, keterangan saksi Pemohon dan bukti surat yang
diajukan Pemohon akan dipertimbangkan dan dinilai bersama-sama dengan pokok
perkara.
Mengenai dalil-dalil pemohon bahwa pemohon
mendalilkan mengenai adanya
pertentangan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara dengan Pasal
17 dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dengan mengemukakan argumentasi
hukum sebagai berikut:
1.
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2008
“Dalam
hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden
dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu”.
Berarti
Presiden harus dan wajib menjelaskan kepada publik penanganan secara khusus apa
yang membutuhkan pengangkatan Wakil Menteri, di samping hal tersebut di atas
dalam Pasal 10 ini ada penekanan pada kata "secara khusus", yang
atinya tidak umum dan atau selektif tapi faktanya Presiden mengangkat 20 wakil
menteri dari 34 kementerian yang ada, atau dengan kata lain pengangkatan wakil
menteri bukan hanya untuk kementerian tertentu, karena faktanya pengangkatan
wakil menteri lebih dari setengah Kementerian yang ada, sehingga timbul
pertanyaan, apakah dapat dikatakan fakta (pengangkatan 20 wakil menteri) yang
dilakukan oleh Presiden masih memenuhi bunyi Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2008 tentang Kementrian Negara? Jawabnya: tidak, maka dengan demikian
pengangkatan 20 wakil menteri oleh Presiden tersebut terbukti tidak memiliki
dasar hukum baik Undang-Undang maupun UUD 1945.
2.
Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2008
“Yang
dimaksud dengan "Wakil Menteri" adalah pejabat karir dan bukan
merupakan anggota kabinet.”
Sehingga hal ini
menutup hak-hak konstitusional dari anggota-anggota/Kader-kader Pemohon untuk
memperoleh kesempatan yang sama dalam penyelenggaraan negara khususnya untuk
menjadi Wakil Menteri, di mana hak Konstitusional Pemohon dalam hal ini kader-kader
Pemohon dijamin dalam Konstitusi yaitu dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945; “Setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan” juncto Pasal 27
ayat (1) UUD 1945; Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya .
3. Potensi Kerugian
Konstitusional Lainnya
Dengan
diangkatnya 20 wakil menteri juga berpotensi pemborosan uang negara, karena
dengan diangkatnya 20 wakil menteri pasti akan mendapatkan fasilitas-fasilitas
khusus dari negara yang dananya bersumber dari APBN. Menurut pemohon kerugian
bisa mencapai 1.848.198.800.000,- yang dibebankan dari pajak. Sementara pemohon
dalam hal ini juga salah satu wajib pajak.
Bahwa yang
menjadi pokok permasalahan dalam permohonan a quo adalah:
1. Pengujian
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap
Pasal 17 dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945;
2. Menyatakan
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tidak
diatur di dalam UUD 1945;
3. Menyatakan
pembentukan wakil menteri yang bersandar pada pasal tersebut bertentangan
dengan Pasal 51 Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan
Organisasi Kementerian Negara yang seharusnya
tersusun
a. pemimpin, yaitu Menteri;
b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat kementerian;
c. pelaksana, yaitu deputi kementerian; dan
d. pengawas, yaitu inspektorat kementerian;
4. Presiden seharusnya memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam
hal ini Pasal 17 UUD 1945 mengenai Kementerian Negara;
5. Menyatakan
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara beserta
Penjelasannya juga bertentangan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945;
6. Mempertimbangkan
pengangkatan wakil menteri ini juga akan melahirkan konflik kepentingan di
organisasi kementerian, yakni antara menteri dengan wakil menteri dan
mengakibatkan pelayanan publik akan semakin lambat;
7. Mempertimbangkan
bahwa jabatan wakil menteri dapat diindikasikan sebagai politisasi pegawai
negeri sipil, dengan modus operandi membagi-bagi jabatan wakil menteri dalam
kalangan dan lingkungan presiden (kroni-kroni Presiden).[4]
8. Karena Pasal 10
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara bertentangan
dengan Pasal 17 dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Maka patut pasal tersebut
dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Terhadap hal
tersebut, penulis sependapat
dengan Mahkamah Konstitusi bahwa persoalan legalitas yang muncul
dalam pengangkatan wakil menteri antara lain adalah:
Pertama, terjadi eksesifitas dalam pengangkatan wakil menteri
sehingga tampak tidak sejalan dengan dengan latar belakang dan filosofi
pembentukan Undang-Undang tentang Kementerian Negara. Dalam bahasa teknis
judicial review eksesifitas yang seperti itu sering disebut tidak sejalan
dengan maksud semula pembentukan Undang-Undang dimaksud (original intent).
Salah satu latar belakang terpenting dari keharusan konstitusional untuk
membentuk Undang-Undang Kementerian Negara sebagaimana diatur di dalam Pasal 17
ayat (4) UUD 1945 dimaksudkan untuk membatasi agar dalam membentuk kementerian
negara guna melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, Presiden melakukannya secara
efektif dan efisien. Kedua, saat mengangkat wakil menteri Presiden tidak
menentukan beban kerja secara spesifik bagi setiap wakil menteri sehingga tak
terhindarkan memberi kesan kuat sebagai langkah yang lebih politis daripada
mengangkat pegawai negeri sipil (PNS) secara profesional dalam jabatan negeri.
Apalagi seleksi jabatan wakil menteri dilakukan secara sama dengan pengangkatan
menteri yakni didahului dengan fit and proper test di tempat dan dengan cara
yang sama dengan seleksi dan pengangkatan menteri. Hal tersebut menjadi sangat
politis dan tidak sesuai dengan hukum kepegawaian yang sudah lama berlaku
terutama jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Penjelasan Pasal 10
Undang-Undang a quo.
Ketiga, menurut Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang a quo jabatan
wakil menteri adalah jabatan karier dari PNS tetapi dalam pengangkatannya tidaklah
jelas apakah jabatan tersebut merupakan jabatan struktural ataukah jabatan
fungsional. Seperti dinyatakan oleh pimpinan BKN di persidangan tanggal 7
Februari 2012 jabatan karier bagi PNS itu ada dua yakni jabatan struktural dan
jabatan fungsional. Persoalannya, jika dianggap sebagai jabatan struktural maka
yang bersangkutan haruslah menduduki jabatan Eselon IA yang berarti, sesuai
dengan hukum kepegawaian, pembinaan kepegawaiannya di bawah pembinaan
Sekretaris Jenderal. Akan tetapi jika jabatan wakil menteri tersebut
diperlakukan sebagai jabatan fungsional masalahnya menjadi aneh, sebab jabatan
fungsional itu bersifat tertentu terhadap satu bidang dan bukan jenis profesi
dan keahlian yang berbeda-beda yang kemudian dijadikan satu paket sebagai jabatan
fungsional. Adalah tidak masuk akal kalau jabatan wakil menteri yang sangat
beragam bidang tugas, keahlian, dan unit kerjanya dianggap sebagai satu
kelompok jabatan fungsional. Lagipula jabatan fungsional harus ditentukan lebih
dahulu di dalam peraturan perundang-undangan dengan mengklasifikasi
masing-masing jabatan fungsional ke dalam jenis tertentu. Para wakil menteri
yang berasal dari perguruan tinggi misalnya, semuanya sudah mempunyai jabatan
fungsional akademik. Pertanyaannya, kalau jabatan wakil menteri dianggap
sebagai jabatan karier fungsional maka bisakah seorang PNS memiliki dua jabatan
fungsional sekaligus berdasar peraturan perundang-undangan?
Keempat, masih terkait dengan jabatan karier, jika seorang wakil
menteri akan diangkat dalam jabatan karier dengan jabatan struktural (Eselon
IA) maka pengangkatannya haruslah melalui seleksi, dan penilaian oleh Tim
Penilai Akhir (TPA) yang diketuai oleh Wakil Presiden atas usulan masing-masing
instansi yang bersangkutan. Tim Penilai Akhir tersebut kemudian mengusulkan
pengangkatannya kepada Presiden dalam bentuk penerbitan Keputusan Presiden
(Keppres) untuk kemudian dilantik oleh Menteri/Jaksa Agung/Kapolri dan pejabat
yang setingkat sesuai dengan penempatan yang bersangkutan. Menurut fakta di
persidangan, para wakil menteri diangkat tanpa melalui prosedur tersebut dan
pelantikannya dilakukan oleh Presiden sendiri di istana negara sehingga
prosedurnya menggunakan prosedur yang berlaku bagi menteri, bukan prosedur yang
berlaku bagi PNS yang menduduki jabatan karier.
Keenam, komplikasi legalitas dalam pengangkatan wakil menteri
seperti yang berlaku sekarang ini, muncul juga terkait dengan berakhirnya masa
jabatan. Jika wakil menteri diangkat sebagai pejabat politik yang membantu
menteri maka masa jabatannya berakhir bersama dengan periode jabatan Presiden
yang mengangkatnya. Akan tetapi, jika wakil menteri diangkat sebagai pejabat
birokrasi dalam jabatan karier maka jabatan itu melekat terus sampai dengan
tiba masa pensiunnya atau berakhir masa tugasnya berdasarkan ketentuan yang
berlaku untuk jabatan karier sehingga tidak serta merta berakhir bersama dengan
jabatan Presiden yang mengangkatnya. Pertanyaannya, kapan berakhirnya masa
jabatan wakil menteri berdasarkan fakta hukum yang ada sekarang ini? Apakah
bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan menteri yang dibantunya dan dalam
periode Presiden yang mengangkatnya ataukah dapat berakhir sebelum atau sesudah
itu? Di sinilah letak komplikasi legalitas tersebut.
Berdasarkan hal inilah penulis sependapat dengan
keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 10
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4916) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2.2 Legal Opinion Kontra Terhadap
Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 Tentang
Uji Materiil Pasal 10 UU NO 39 Tahun 2008 Tentang
Kementerian Negara.
Ditilik dari kewenangan yang dimiliki
oleh suatu lembaga Negara atau pejabat Negara dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia, maka kewenangan lembaga Negara atau pejabat
Negara tersebut dapat berbentuk kewenangan atributif dan kewenangan
delegatif/derivatif. Kewenangan atributif adalah kewenangan asli (orisinil)
yang diberikan oleh Undang-undang Dasar 1945 atau Undang-undang tertentu kepada
lembaga Negara atau pejabat Negara tertentu, sedangkan kewenangan
delegatif/derivatif adalah kewenangan yang diberikan oleh pemegang kewenangan
atributif kepada lembaga Negara atau pejabat Negara tertentu dibawahnya, untuk
mengeluarkan suatu pengaturan lebih lanjut atas sesuatu peraturan
perundang-undang yang dibuat oleh pemegang kewenangan atributif. Lembaga Dewan
Perwakilan Rakyat dan Lembaga Presiden memiliki kewenangan atributif sebagai
pembentuk Undang-undang, karena kewenangan tersebut diperoleh berdasarkan
kekuatan Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 20 Undang-undang Dasar 1945. Demikian
halnya pula lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan lembaga Kepala Daerah
memiliki kewenangan atributif untuk membuat atau membentuk Peraturan Daerah
(Perda).
Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah untuk bertindak
bersumber pada tiga hal yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi ialah pemberian kewenangan
oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan baik yang
sudah ada maupun yang baru sama sekali. Atribusi merupakan cara normal untuk
memperoleh wewenang. Menurut Indroharto, legislator yang kompeten untuk
memberikan atribusi wewenang itu dibedakan antara :
1.
Yang
berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat
pusat adalah MPR sebagai pembantuk konstitusi (konstituante) dan DPR
bersama-sama Pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di
tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang melahirkan Peraturan
Daerah;
2.
Yang
bertindak sebagai delegated legislator : seperti Presiden yang
berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan
Pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau
Jabatan Tata Usaha Negara tertentu.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Berdasarkan ketentuan
pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain, “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-undang Dasar. Juncto pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, “Menguji undang-undang terhadap Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Putusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011
Tentang Uji Materil Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara yang diajukan oleh
Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK). Atas gugatan
yudisial Review yang diajukan oleh GN-PK pada tanggal 25 Oktober 2011 telah
dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi, terutama tentang penjelasan Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008. Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 10
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4916) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut, penulis tidak sependapat. Alasan Mahkamah
Konstitusi menyatakan inkostitusional Penjelasan Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008 adalah mengenai orang yang dapat diangkat
sebagai wakil menteri menurut Mahkamah, dapat berasal dari pegawai negeri
sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik
Indonesia, bahkan warga negara biasa. Apabila wakil menteri ditetapkan sebagai
pejabat karir, sudah tidak ada posisinya dalam susunan organisasi kementerian,
sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil.
Menurut penulis, dasar hukum dalam memutuskan
perkara tersebut kurang tepat. karena seyogyanya dalam hal memberikan putusan terhadap uji
materiil undang-undang, MK hanya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak, tanpa
adanya ketentuan lain untuk memberikan tafsir atau aturan baru terhadap materi
ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang di uji materiilkan. Sedangkan dalam perkara ini MK seolah melakukan
putusan seolah memaksa, karena alasan yang digunakan bukanlah berdasarkan
landasan yuridis, tetapi landasan sosiologis, hal ini terlihat dalam alasan
pertimbangan hukum MK yang menyatakan mengenai orang yang dapat diangkat sebagai wakil menteri
menurut Mahkamah, dapat berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia, bahkan warga negara
biasa. Apabila wakil menteri ditetapkan sebagai pejabat karir, sudah tidak ada
posisinya dalam susunan organisasi kementerian, sehingga hal tersebut
menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Selain itu, menurut penulis baik
diatur atau tidak dalam UUD 1945, pengangkatan wakil menteri
merupakan bagian dari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas-tugasnya dan ini
merupakan kewenangan atributif yang dimiliki presiden. Apabila menteri dapat diangkat oleh
Presiden, logikanya, presiden pun tentu dapat mengangkat wakil menteri. Dari
sudut substansi, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam konteks ini.
UUD 1945 hanya mengatur hal-hal yang pokok sehingga untuk pelaksanaan lebih
lanjut diatur dengan Undang-Undang. Tidak adanya perintah maupun larangan di
dalam UUD 1945 memberi arti berlakunya asas umum di dalam hukum bahwa “sesuatu
yang tidak diperintahkan dan tidak dilarang itu boleh dilakukan” dan
dimasukkan di dalam Undang-Undang sepanjang tidak berpotensi melanggar hak-hak
konstitusional atau ketentuan-ketentuan lain di dalam UUD 1945.
Selanjutnya, jika menganalogikan pengangkatan wakil
menteri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). UUD 1945 tidak menentukan adanya
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lebih dikenal dengan sebutan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun dengan TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) dibentuklah KPK, untuk menyidik
dan menuntut tindak pidana korupsi tertentu. Padahal di dalam tata pemerintahan
kita sudah ada kepolisian sebagai penyidik dan kejaksaan sebagai penuntut umum
perkara pidana. Meskipun suatu lembaga negara tidak secara tegas dicantumkan
dalam UUD 1945, hal tersebut dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan
dengan UUD 1945.
III.PENUTUP
Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini adalah:
1. Penulis
sependapat dengan putusan MK karena menurut Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang a quo jabatan
wakil menteri adalah jabatan karier dari PNS tetapi dalam pengangkatannya
tidaklah jelas apakah jabatan tersebut merupakan jabatan struktural ataukah
jabatan fungsional.
2. Penulis
tidak sependapat dengan putusan MK karena dalam
hal memberikan putusan terhadap uji materiil undang-undang, MK hanya menyatakan
bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan
dengan UUD 1945 atau tidak, tanpa adanya ketentuan lain untuk memberikan tafsir
atau aturan baru terhadap materi ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
yang di uji materiilkan. Dan
pengangkatan wakil menteri merupakan kewenangan atributif presiden yang
diberikan UUD 1945.
DAFTAR
PUSTAKA
B.Arief
Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu
Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu
Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar
Maju, Bandung, 2000
Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi Telaah
Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, P.T Alumni Bandung, Bandung, 2008
Moh. Mahfud MD, Konstitusi
dan Hukum dalam Kontroversi Isu, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010
[1] Iriyanto
A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji
Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah
Konstitusi, P.T Alumni Bandung, Bandung, 2008, hlm.165
[2] Moh.
Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam
Kontroversi Isu, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.274
[3] B.Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah
Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai
Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
2000, hlm
164.
[4] Lihat revisi
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara pada tanggal 13 Oktober 2011 menjadi Peraturan Presiden
Nomor 76 Tahun 2011, dengan tujuan agar orang dekat dengan Presiden yang tidak
memenuhi persyaratan dapat diangkat menjadi wakil menteri;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar